Ardiman menekankan pentingnya melestarikan tradisi ini sebagai lambang persatuan, sementara Yanis berharap agar mappadekko diperkenalkan kepada generasi muda demi menjaga identitas budaya Bugis di tengah arus budaya asing.
Selain itu, mappadekko juga memiliki makna khusus saat gerhana bulan, di mana masyarakat percaya bahwa tradisi ini berfungsi untuk mengusir naga yang dianggap menelan bulan. Dengan demikian, mappadekko bukan sekadar tradisi, tetapi bagian integral dari identitas dan nilai-nilai budaya Bugis.
Tradisi mappadekko juga dimaksudkan untuk mempertahankan warisan budaya leluhur yang dikhawatirkan makin ditinggalkan oleh generasi muda, serta untuk mengantisipasi pudarnya nilai-nilai lokal akibat pengaruh budaya asing. Inilah sebabnya budaya mappadekko masih dilestarikan setiap tahun di desa-desa yang ada di Kabupaten Bone untuk menjaga warisan budaya para leluhur.
Sementara Ketua Umum Himpunan Mahasiswa PPKN Universitas Muhammadiyah Bone, Topan Arya Harahap mengatakan, mappadekko bukan sekadar tradisi, melainkan nilai sakral yang menyatukan masyarakat dalam harmoni.
Dengan ritme yang diciptakan oleh para pria yang menumbuk alu kosong dan gerakan anggun para wanita, mappadekko menciptakan interaksi sosial yang religius dan berakar kuat pada adat. Sebagai generasi muda, kita memiliki tanggung jawab untuk melestarikan warisan ini agar tongkat estafet kebudayaan tidak terputus.
Topan Arya Harahap mengingatkan kita untuk tidak terpengaruh oleh budaya asing, tetapi sebaliknya merayakan dan menjaga budaya sendiri. “Mari kita bersatu untuk melestarikan mappadekko agar keindahan dan makna budaya ini tetap hidup dalam hati dan jiwa generasi mendatang,” paparnya.