Dalam konteks Pilkada, demokrasi partisipatoris mengisyaratkan bahwa proses pemilihan tidak cukup hanya dengan memberikan hak suara pada hari pemungutan suara. Masyarakat juga harus dilibatkan dalam berbagai tahap, mulai dari proses pencalonan, kampanye, hingga pengawasan pelaksanaan kebijakan setelah kepala daerah terpilih. Dengan demikian, Pilkada tidak hanya sekadar ajang formalitas lima tahunan, tetapi menjadi bagian dari proses demokrasi yang berkelanjutan.
Meskipun Pilkada di Indonesia telah mengalami beberapa perbaikan, pelaksanaannya masih menghadapi berbagai masalah. Beberapa tantangan utama yang sering muncul adalah:
Politik uang atau “serangan fajar” sering terjadi dalam setiap Pilkada, di mana kandidat membagikan uang atau barang kepada pemilih untuk memengaruhi pilihan mereka. Fenomena ini merusak esensi demokrasi, karena pemimpin yang terpilih tidak selalu berdasarkan kapasitas atau visi, melainkan kemampuan finansial. Kemudian, minimnya partisipasi publik pencalonan kepala daerah seringkali didominasi oleh elite politik dan oligarki partai. Masyarakat hanya menjadi objek yang memilih kandidat yang sudah disiapkan, tanpa ruang yang cukup untuk berpartisipasi dalam proses pencalonan.
Akibat rendahnya kualitas kampanye sehingga banyak kampanye Pilkada yang cenderung bersifat populis dan minim gagasan atau program konkret. Kampanye sering berisi janji-janji yang sulit diukur atau tidak realistis. Akibatnya, pemilih sulit menilai kandidat berdasarkan visi dan misi yang jelas. Seringkali juga terjadi kelengahan sehingga muncul kelemahan pengawasan pasca Pemilihan bahwa setelah kepala daerah terpilih, partisipasi publik dalam mengawasi jalannya pemerintahan seringkali menurun. Hal ini menyebabkan kebijakan tidak selalu sejalan dengan aspirasi masyarakat.