Meski masih sedikit, Iswadi yakin kopi karst akan berjaya kembali. Kuncinya, ada pada petani. Jika mereka antusias mengembangkan kopi, produksi akan terus meningkat. Agar petani tertarik, setelah panen pihak komunitas CHC menjamin langsung dengan membeli hasil panen kopi petani di Leang-leang.
“Belinya dalam bentuk green bean lalu disortir biji yang terbaik,” kata Iswadi.
Di balik tebing gunung karst, seorang petani mengenang masa lalu saat berkebun kopi. Nurdin, namanya. Petani berusia 60 tahun ini bertani palawija, hamparan lahan hampir satu hektare. Nurdin bisa mendapatkan penghasilan jutaan rupiah sekali panen. “Masa panen tiga bulan,” katanya.
Merawat Alam
Penghasilan itu, rupanya berbanding terbalik dengan keadaan lingkungan. Di balik suburnya palawija, ada ribuan tanaman jangka panjang ditebang. Termasuk kopi. “Harga rendah, diganti tanaman lain,” katanya.
Menurut Nurdin, penggunaan pestisida pada tanaman palawija sudah menjadi kewajiban. Termasuk penggunaan pupuk kimia. Nurdin tahu penggunaan bahan kimia pada tanaman akan merusak lingkungan. “Mau bagaimana lagi, kalau tidak dikasi racun tanaman diserang hama. Bisa gagal panen,” ujarnya.
Akibat ketergantungan, para pemasok pestisida leluasa menjangkau petani. Pestisida ibarat makanan pokok pada praktik perkebunan di Indonesia, termasuk di Maros. Dampaknya bisa fatal. Lingkungan rusak, tanah tidak subur lagi seperti sedia kala.
Namun kini masyarakat sudah sadar. Lingkungan harus dijaga, apalagi pegunungan karst yang terkandung kekayaan alam di dalamnya. Makanya, sejak tiga tahun lalu, petani kembali menanam kopi. “Sekarang sudah dipanen hasilnya. Harganya lumayan, kopi makin diburu,” ujar Nurdin.