Dr. Herman menjelaskan bahwa jika yang dimaksud daluwarsa adalah laporan terkait tindak pidana, maka harus dipahami bahwa tindak pidana memiliki masa daluwarsa yang panjang. Namun, jika laporan dianggap daluwarsa di Gakkumdu, ini berarti ada masalah dalam penanganan laporan tersebut.
“Seharusnya ini telah diatur dengan jelas dalam peraturan. Jika tidak berjalan baik, maka akan menimbulkan masalah di kemudian hari. KPU nantinya akan memutuskan apakah paslon tersebut memenuhi syarat atau tidak, dan jika Gakkumdu tidak bekerja, serta KPU beralasan bahwa proses di Gakkumdu sudah daluwarsa, ini akan menimbulkan persepsi buruk di masyarakat,” tegasnya.
Lebih lanjut, Dr. Herman menekankan bahwa pilkada adalah rangkaian peristiwa yang melibatkan banyak instrumen, termasuk Gakkumdu. Jika Gakkumdu tidak berfungsi optimal, masyarakat akan mempertanyakan kepastian hukum paslon tersebut.
“Jika Gakkumdu tidak berfungsi, sementara KPU menetapkan kelayakan paslon tanpa mempertimbangkan laporan yang masuk, bagaimana nasib laporan tersebut? Apakah benar ada paslon yang terindikasi memalsukan ijazah?” tanyanya.
Menurutnya, hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dalam pelaksanaan Pilkada, khususnya di daerah yang bersangkutan. Jika terbukti ada pemalsuan ijazah di luar Gakkumdu, seperti laporan ke polisi atau kejaksaan, maka masalah ini tidak hanya terkait dengan etika, tetapi juga kepastian hukum dan administrasi.
“Jika terbukti bahwa pasangan calon tersebut memalsukan ijazah, dan mereka tetap menang dalam Pilkada, maka akibat hukumnya sangat besar. Ini terkait penegakan hukum di Gakkumdu yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya,” katanya.