Akibatnya, jumlah imigran Inggris di Australia dan New Zealand lebih besar. Hal ini mendorong penjajah Inggris membangun institusi ekonomi dan politik yang inklusif di dua negara tersebut untuk memberikan insentif bagi penjajah berinvestasi di negara jajahan.
Singkatnya, Acemoglu, Robisnon dan Johnson peraih hadiah nobel ekonomi 2024 berkesimpulan bahwa penjajahan negara-negara Eropa di seluruh dunia membawa dua model institusi bagi negara jajahan, yaitu: institusi yang inklusif dan ekstraktif.
Institusi ekonomi dan politik yang inklusif terbukti mampu memberikan efek positif jangka panjang terhadap pertumbuhan ekonomi tinggi di negara jajahan. Dimana, masyarakat setempat (penduduk negara jajahan) dan penduduk pendatang dari negara penjajah memliki kesempatan berpartisipasi dalam ekonomi dan politik.
Sebaliknya, institusi ekonomi dan politik yang ekstraktif membuat negara yang sebelumnya kaya, memiliki SDA melimpah menjadi miskin dengan gini ratio tinggi (ketimpangan tinggi). Institusi ekstraktif hanya memberikan kesempatan kepada elit-elit lokal dan sekaligus mengeksploitasi penduduk di negara jajahan.
Lalu, apa implikasi kebijakan bagi pemerintah Indonesia? Merujuk pada Acemoglu, Robinson dan Johnson, membangun istitusi ekonomi dan politik demokratis (inklusif) merupakan satu-satunya cara untuk mewujudkan kesejahteraan dalam jangka panjang.
Institusi ekonomi esktraktif melahirkan ketimpangan dengan gini ratio yang tinggi. Dimana, pertumbuhan ekonomi tinggi yang ditandai oleh meningkatnya pendapatan nasional hanya dinikmati segilintir orang atau elit politik. Segelintir pelaku ekonomi menjadi semakin kaya dan penduduk miskin terjebak dalam kemiskinan ekstrim.