Dalam konteks peristiwa kebudayaan menuju suatu peradaban, kota menjadi penting seiring dengan proses arus modernisasi yang merangkum berbagai khasanah tradisi dalam proses pembentukan kesadaran nasional. Sebagaimana juga kebudayaan ke arah peradaban, kerangka nasionalisme di dalam masyarakat membutuhkan tata ruang. Dalam proses kearah modernisasi, urban space menjadi sesuatu yang penting karena dalam wilayah urban itulah tercipta saling silang dan dialog berbagai komunitas budaya. Dalam konteks dialog budaya di ruang urban itu sebagai wujud pembentukan yang terus menerus secara berkesinambungan dan sekaligus perwujudan keberagaman yang menjadi basis material yang dikelola oleh berbagai komunitas. Berkaitan dengan hal ini, perlu diingat bahwa kota merupakan konfederasi komunitas yang proses pengembangan serta dinamikanya sangat membutuhkan ruang publik.
Kini kita bertanya-tanya, sejauh manakah empat pasangan cawalkot ini memiliki konsepsi tentang politik tata ruang untuk Makassar, dan bukan hanya sekedar tata ruang tapi tata ruang ekologis. Penambahan makna kata ekologis pada tata ruang untuk Makassar sangat penting berkaitan dengana perkembangan tata kota Makassar yang dalam dua-tiga dekade terakhir ini mengalami perubahan pesat. Dan perubahan itu bukan hanya merubah tata ruang tapi juga menciptakan kesenjangan tata ruang pergaulan sosial yang diakibatkan oleh praktek politik ekonomi yang kian jauh dari rasa keadilan.
Dalam dua dekade Makassar banyak kehilangan ruang publik. Ruang menjadi komoditas dari praktek politik ekonomi yang tak mempertimbangkan ruang publik kebudayaan sebagai fondamen bagi kohesifitas sosial. Pada sisi lainnya tata rung pesisiran kian menghilang, dan menjelma menjadi hutan beton. Dampak dari pembangunan dan hilangnya ruang pesisiran menciptakan krisis lingkungan hidup dalam wujud yang paling nyata perembesan air laut ke wilayah daratan. Betapa ironisnya Makassar sebagai kota pantai tapi tak memiliki pesisir sebagai ruang publik.
