JAKARTA, FAJAR—Kasmawati seorang perempuan pemberani asal Jeneponto. Dia ke Jakarta bergabung dengan perwakilan masyarakat pesisir se-Indonesia.
Kasmawati terlibat dalam aksi demo tuntutan Masyarakat Pesisir Indonesia di depan Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Kamis (10/10/2024). Dalam menyampaikan keresahannya, Kasmawati memaparkan dampak kebijakan-kebijakan serampangan pemerintah yang berdampak pada kehidupan perempuan pesisir di Kabupaten Jeneponto.
Perwakilan Masyarakat Pesisir yang berdemo dan diizinkan bertemu dengan pejabat KKP adalah beberapa perwakilan perempuan nelayan. Kasmawati dari Jeneponto, Sulawesi Selatan, salah satunya. Ada juga Asmania, pejuang perempuan dari Pulau Pari, DKI Jakarta; tokoh adat Clif Henry KIssya dari Negeri Haruku, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku; Rizal, perwakilan Panglima Laot dari Aceh; dan Roy, nelayan dari Manado.
“Tahun 2018 di dekat desa kami, Desa Arungkeke, bahkan mungkin hampir di sepanjang pantai Sulawesi Selatan, muncul tambak-tambak udang berskala besar milik perusahaan asing,” terang Kasmawati dalam keterangan tertulis diterima FAJAR, Jumat (11/10/2024).
Seiring itu juga dihadirkan PLTU. Kehadiran mereka menghantam budi daya rumput laut yang selama ini menjadi andalan hidup keluarga nelayan. Limbah-limbah kimia pascapanen tambak mencemari laut, mematikan rumput laut, kepiting, bahkan ikan-ikan kecil.
“Nelayan harus mencari ikan lebih jauh lagi. Dan banyak perempuan-perempuan di desa kami kemudian terjerat utang, karena harus menanggung kesulitan ekonomi ini untuk memenuhi dapur keluarga, dan sekolah anak, yang dulu tidak pernah kami alami,” jelas perempuan asal Desa Arungkeke, Jeneponto, itu.
Dalam demo itu, Masyarakat Pesisir Indonesia menyerukan agar pemerintah tidak melanggar hak-hak konstitusional mereka seperti yang diamanatkan pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK), No. 3/PUU-VIII/2010 yang menegaskan tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UUPWP), bahwa masyarakat pesisir memiliki hak konstitusional dalam mengakses laut secara bebas.
Masyarakat berhak mengelola wilayah pesisir berdasarkan pengetahuan lokal dan kearifan komunitasnya; masyarakat juga berhak mendapatkan manfaat dari sumber daya laut dan pesisir; serta bisa menikmati perairan yang bersih dan sehat.
Selain itu mereka juga mengingatkan pemerintah Joko Widodo maupun penggantinya nanti, tidak lagi memporak-porandakan pesisir dengan peraturan yang serampangan dan tidak konsisten, dengan dalih pembangunan, program-program berskema (namun hutang), atau pun konservasi yang semuanya seringkali bertentangan dengan prinsip keberlanjutan ekosistem pesisir, apalagi untuk kesejahteraan masyarakat pesisir.
Temu Akbar
Kegiatan ini merupakan aksi puncak setelah mereka mengikuti rangkain kegiatan Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024: Memperjuangkan Kebaharian Indonesia, yang digelar oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), bersama YLBHI, Trend Asia, Bina Desa, PIKUL, WGII, JKPP, IGJ, Greenpeace Indonesia, serta jaringan organisasi masyarakat sipil lainnya, sejak 8 Oktober, di Jakarta.
Dalam aksi demo ini para masyarakat pesisir yang juga adalah nelayan- termasuk nelayan perempuan- melakukan aksi menaburkan pasir kuarsa yang mereka ambil dalam botol satu liter dari kampungnya masing-masing sebagai simbol penolakan mereka atas aturan ekspor pasir laut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Padahal sebelumnya, selama 20 tahun, mengapalkan pasir laut untuk dikirim ke luar negeri adalah aktivitas ilegal.
Dalam aksi ini masyarakat pesisir membawa spanduk panjang bertuliskan, Climate Justice; Our Sea, Our Identity! We are the Sea!; Fisherwomen Against Land and Ocean Grabbing; Lebih Baik Jual Pasir Kucing Daripada Pasir Laut; Pasir Kok Dijual, Ini Pemerintah atau Toko Bangunan; Dulu Ibu Susi menenggelamkan Kapal Asing Pencuri, Sekarang Pemerintah Menenggelamkan Desa; Jangan Tenggelamkan Kami, Tenggelamkan Mulyono Saja.
Dalam kesempatan tersebut para perwakilan masyarakat pesisir juga meminta masuk ke kantor KKP untuk menyampaikan pesan-pesan kunci mereka secara langsung. Mereka diterima secara terbatas oleh perwakilan Kementerian KKP, yaitu Lingga Prawitaningrum, Kepala Pokja Tata Kelola Alat Penangkapan Ikan, dan. Kepala Bidang Konsumsi Dan Keamanan Pangan, Eko Ferry Setiawan.
Kecewa
Sementara Asmania secara emosional meminta agar KKP dan institusi lainnya tidak lagi mengintervensi Pulau Pari dengan kebijakan-kebijakan merusaknya. Apalagi hanya untuk memberikan keuntungan pada investor-investor tertentu dengan mengabaikan kelestarian ekosistem yang ada di Pulau Pari dan juga masyarakat yang sudah turun menurun tinggal di sana.
Beberapa kali warga Pari yang pro keadilan ekologiogis wilayahnya dikriminalisasikan karena pemerintah lebih memihak investor. Terakhir ada kebijakan reklamasi besar-besaran untuk resort apung yang dilakukan PT Panorama yang justru merusak ekosistem padang lamun dan terumbu karang. Lucunya ganti rugi yang diberikan kepada KKP dan bukan kepada warga.
Tentu saja dampak pada kehidupan warga juga semakin tinggi dan perempuan seperti halnya yang dialami perempuan di Desa Arungkeke juga dialami para perempuan Pulau Pari.
“Kami Tidak butuh investor, kami butuh laut kami!!” tandas Asmania dihadapan “petinggi” KKP yang menerimanya sambil menahan emosi dan air matanya tak tertahan tumpah di pipi.
Picu Abrasi
Ketua Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Masnuah, juga mengungkapkan hal senada. Akibat kebijakan kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi di laut membuat beberapa desa-desa pesisir di sekitar Demak tenggelam, seperti Desa Timbulsloko dan Desa Bedono.
Abrasi-abrasi ini terjadi semakin tidak terbendung karena hilangnya mangrove sebagai benteng alami permukiman warga yang digunduli untuk tambak dan reklamasi di Semarang. Ratusan warga masih bertahan dan melakukan adaptasi dan mitigasinya sendiri. Berjuang sendiri.
“Kehidupan kini semakin menyulitkan para masyarakat pesisir di wilayah kami. Semakin parah. Menyebabkan mereka kehilangan pekerjaan, akses transport yang mahal, beban kesulitan ekonomi ini karena perampasan ruang menyebabkan banyak perempuan pesisir mengalami kekerasan dalam rumah tangga atau melakukan peran ganda. Jadi kami serukan untuk mencabut Kebijakan Pengelolaan Sedimentasi ini. Kalian telah merusak ruang hidup kami,” tandas Masnuah.
Sementara Cliff di hadapan KKP bahkan merasa tidak habis pikir, pulau terpencil macam desanya juga tidak luput dari intervensi kebijakan yang menyudutkan masyarakatnya.
“Para nelayan kami harus kalah dengan kapal-kapal besar bermodal besar. Menghabisi hasil laut dengan rakusnya hingga merusak. Kami punya kearifan lokal dalam mengelola laut, dan juga menangkap ikan,” katanya.
“Bahkan kami tidak memperkenankan menggunakan kapal besar, selalu tradisional untuk menjaga keberlanjutan kehidupan laut. Jadi jangan ajari kami bagaimana mengelola laut, kami tau cara mengelola laut yang berkelanjutan.”
Usai audiensi dengan Kementerian KKP, para masyarakat pesisir lainnya yang menunggu hasil pertemuan semakin kecewa dengan hasil pertemuan tersebut. Bahkan Asmania tidak bisa membendung emosinya lebih lama hingga dia harus dipeluk oleh sesame perempuan pesisir lainnya.
Sementara itu Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati berharap pemerintahan baru baik eksektif dan legislative yang akan dilantik bulan ini mengingatkan untuk meluruskan lagi kebijakan-kebijakan yang justru kontradiktif dengan semangat keberlanjutan ekosistem pesisir dan juga pemberdayaan masyarakat nelayan. Dia berharap kementerian KKP yang baru bisa memahami tata kelola lembaganya, dengan fokus menegakkan MK No. 3/PUU-VIII/2010 kembali.
Susan menambahkan, meski kita sudah memiliki perangkat konstitusional yang memadai untuk menyejahterakan dan melindungi nelayan, pelaksanaannya sering lemah di tingkat regulasi bawah. Diperlukan konsistensi dalam penerapan aturan yang adil untuk melindungi nelayan kecil. Keberpihakan pemerintah baru juga akan diukur dari komitmennya dalam memberikan jaminan sosial yang tepat sasaran bagi nelayan.
“Kami membuka peluang bagi Menteri KKP yang baru untuk magang atau tinggal di kampung pesisir sebelum memimpin, agar memahami makna kedaulatan, kesejahteraan, dan kebaharian dari perspektif nelayan dan perempuan nelayan, bukan sekadar dari kebutuhan investor,” tandasnya.(*)