Oleh : Muliyadi Hamid
Baru-baru ini, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-ristek) menerbitkan Peraturan Menteri No. 44 Tahun 2024 tentang Profesi, Karier, dan Penghasilan Dosen. Aturan ini satu sisi ingin melindungi dan menjamin karier dosen, namun di sisi lain secara implisit semakin menegaskan upaya pemerintah melepaskan tanggung jawabnya di sektor pendidikan. Khususnya pendidikan tinggi.
Menurut Permen 44 tersebut, pemberi kerja ada tiga, yakni; 1) Pemerintah (kementerian) yang mempekerjakan dosen berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN), 2) PTN Badan Hukum (BH) mempekerjakan dosen PTN-BH, dan 3) Badan Penyelenggara yang mempekerjakan dosen berstatus PT Swasta (PTS). Padahal, semua PTN BH adalah juga Perguruan Tinggi milik negara di bawah koordinasi Kementerian Dikbud-Ristek. Dengan demikian, sangat jelas jika rezim Permen 44 ini akan memperhadapkan antara PTN-BH dengan PTS. Atau dengan kata lain, liberalisasi pendidikan tinggi semakin menunjukkan wajahnya yang asli. Apakah ini pertanda baik atau buruk?
Esensi liberalisme adalah kebebasan dan kesetaraan. Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan, liberalisme akan melahirkan persaingan yang ketat. Sementara kondisi Perguruan Tinggi yang jumlahnya lebih 4.000 saat ini sudah tentu belum setara. Khususnya PTS. Untuk itu, jika dibiarkan dalam persaingan bebas sangat potensial akan menyebabkan banyak diantaranya yang harus gulung tikar. Sementara peran PTS untuk menampung anak-anak bangsa masih sangat diperlukan di tengah terbatasnya kemampuan PTN menampung seluruh calon mahasiswa setiap tahun.