English English Indonesian Indonesian
oleh

Skandal Guru Besar

SuarA: Nurul Ilmi Idrus

Dunia pendidikan sedang atau bahkan sejak lama dirundung duka dan semakin bermuram durja. Ini karena kampus yang dulunya dianggap sebagai “benteng moral,” kini tumbang oleh berbagai peristiwa yang mencoreng nama baik kampus, mulai dari bermunculannya berbagai kasus pelecehan seksual (hingga Kementerian Pendidikan harus mengeluarkan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi); pengobralan profesor kehormatan (yang diperkuat dengan dikeluarkannya Permendikbudristek No. 38 Tahun 2021) tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi; merebaknya kasus bullying dan pemerasan terhadap mahasiswa kedokteran yang berakhir dengan bunuh diri; dan yang belakangan terjadi adalah skandal guru besar dalam kaitan dengan publikasi terindeks “scopus” yang telah menjadi momok karena menjadi salah syarat untuk memperoleh jabatan fungsional (bukan gelar) profesor.

Guru besar memang jabatan fungsional tertinggi bagi akademisi. Hampir semua akademisi menginginkan mencapai jabatan ini, tapi ada pepatah Bugis yang menyatakan, bahwa: “Pada lao teppada upe’” yang dalam konteks pencapaian ini bermakna bahwa tidak semua akademisi bertakdir menjadi profesor. Ada yang memang pesimis karena merasa dirinya sangat sulit untuk memenuhi persyaratannya. Yang lain berupaya untuk mencapainya sesuai jalur berharap bisa tercapai, tapi berprinsip “tercapai ok, tidak tercapai nasib.” Namun, ada pula yang sangat berambisius untuk mencapainya, sehingga berbagai cara dilakukan untuk itu, termasuk “membeli” penerbitan artikel jurnal yang konon terindeks “scopus,” sebagaimana persyaratan administrasi untuk menjadi seorang profesor. Kategori terakhir inilah yang menjadi mangsa calo-calo jurnal predator, sebagaimana yang diduga terjadi di Universitas Lambung Mangkurat (ULM) dan berkonsekuensi pada anjloknya akreditasi institusi dari Unggul menjadi Baik (setara akreditasi C) yang tentu saja merugikan mahasiswa yang akan diwisuda pada periode akreditasi anjlok. 

Pertanyaannya adalah: apakah hanya di ULM hal semacam ini terjadi? Mungkin hampir semua Perguruan Tinggi ada kasus yang seperti ini dan bagai fenomena gunung es, namun apakah lebih hebat atau kurang hebat modusnya dibandingkan dengan modus yang terjadi di ULM (wallahu alam bissawab!), sehingga tidak sedikit juga orang yang deg deg plus ketika kasus skandal guru besar mencuat ke permukaan.  

Menulis artikel jurnal terindeks “scopus” pada jurnal-jurnal bereputasi bukan sesuatu yang sulit-sulit amat jika memang tujuannya untuk menerbitkan tulisan yang berkualitas. Yang membuatnya jadi sulit adalah karena banyak akademisi yang tidak siap dengan tulisan yang dapat menembus jurnal-jurnal tersebut, sehingga mengambil “jalan pintas” agar artikel dapat terbit secara instan, yang penting terindeks “scopus,” bahkan mungkin tulisan ditulis oleh joki artikel. Ironisnya, banyak tulisan yang terbit konon terindeks “scopus,” tapi jurnal predator. Salah satu indikasi jurnal predator adalah proses yang instan (tapi mahal karena dikarbit), sementara jurnal yang bereputasi memakan waktu (tidak instan) dan berproses (internal & external review). Akibatnya, ketika dalam proses pengurusan guru besar, ada yang artikelnya tertolak karena jurnalnya discontinue penerbitannya. Jurnal bereputasi memiliki rekam jejak yang bagus, sehingga penerbitannya tidak on & off (discontinue) dan tidak membuat deg deg plus jika menerbitkan di jurnal tersebut.

Ini seharusnya menjadi pembelajaran berharga tidak saja bagi akademisi, perguruan tinggi, dan Kemendikbudristek sendiri. Di Indonesia sendiri banyak jurnal terindeks SINTA dengan kualitas yang mumpuni (bahkan setara scopus), tapi kurang dipandang dibandingkan dengan yang terindeks “scopus” meskipun terbit di jurnal predator. What a mess!

News Feed