Pengangkatan Jaksa Agung merupakan hak konstitusional Presiden, namun dalam pengangkatan Jaksa Agung memiliki perbedaan dengan pengangkatan jabatan menteri di kabinet pemerintahan. Syarat untuk diangkat menjadi Jaksa Agung diatur dalam Pasal 20 UU Nomor 11 Tahun 2021. Namun dalam perkembangannya Pasal 20 UU Nomor 11 Tahun 2021 telah dilakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Nomor: 6/PUU-XXII/2024 yang memberikan pemaknaan bahwa untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung harus memenuhi syarat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a sampai dengan huruf f termasuk syarat bukan merupakan pengurus partai politik kecuali telah berhenti sebagai pengurus partai politik sekurang-kurangnya 5 tahun sebelum diangkat sebagai Jaksa Agung.
Jaksa Agung haruslah orang yang berintegritas, memiliki kapasitas, kapabilitas, kompetensi, rekam jejak, komitmen yang tinggi dalam upaya penegakan hukum termasuk pemberantasan korupsi serta terbebas dari kepentingan politik. Secara kelembagaan Kejaksaan adalah eksekutif, namun dalam menjalankan fungsi penegakan hukum bersifat independen dari kekuasaan manapun.
Sejarah mengingatkan kita bahwa Kejaksaan RI tidak pernah kekurangan tokoh untuk memimpin, Prof. Baharuddin Lopa, dan Jaksa Agung saat ini, Prof. Dr. Sanitiar Burhanuddin, S.H., M.M. Keduanya merupakan bukti konkrit bahwa Kejaksaan sukses melakukan kaderisasi kepemimpinan. Mereka merupakan Jaksa Agung yang lahir dari rahim Kejaksaan memulai pengabdiannya sejak muda sebagai seorang Jaksa yang khatam asam garam Kejaksaan, maka seharusnya yang menjadi Jaksa Agung adalah Jaksa karier yang telah melalui banyak pengalaman penugasan dalam struktur organisasi Kejaksaan. Pengalaman adalah guru kehidupan, tidak dapat dinafikkan bahwa Jaksa karierlah yang memiliki pengalaman dan memahami kebutuhan serta sistem kerja kejaksaan. Tampaknya tak elok jika institusi ini dipimpin oleh yang bukan Jaksa Karier atau purna Jaksa.