Selanjutnya, pada Pilkada Makassar 2018, saat hanya ada satu pasangan calon yang melawan kotak kosong, secara matematis banyak yang memprediksi kemenangan calon tunggal. Namun, hasil akhirnya justru mengejutkan, di mana kotak kosong yang keluar sebagai pemenang. Begitu pula pada Pilwalkot 2020 yang berlangsung di tengah pandemi Covid-19.
“Saat itu ada kekuatan elite yang sangat kuat, yakni Danny Pomanto, yang mampu mengonsolidasikan pendukungnya dan akhirnya memenangkan Pilwalkot di tengah pandemi,” kata Endang.
Kondisi ini bisa terjadi karena tidak ada petahana. Sebaliknya, para kandidat merupakan tokoh-tokoh lama yang pernah memiliki peran masing-masing di Makassar. “Misalnya, Danny Pomanto mendukung paslon INIMI (Indira-Ilham), Ilham Arief Sirajuddin (IAS) mendukung paslon MULIA (Munafri-Aliyah), dan Nurdin Abdullah (NH) mendukung paslon Seto-Rezki,” tambahnya.
Jadi, kekuatan dari keempat paslon ini relatif sama. Penentuannya akan terjadi pada masa kampanye nanti.
Selain itu, debat antar kandidat akan menjadi momen yang sangat menentukan. “Debat selalu menjadi perhatian publik karena dapat memengaruhi pilihan masyarakat. Bagaimana program disampaikan dalam debat, itu yang akan menentukan,” kata Endang.
“Pemilih di Makassar yang masih ‘wait and see’ jumlahnya cukup tinggi. Mereka biasanya tidak fanatik pada satu kandidat, karena karakteristik masyarakat Makassar sangat terbuka,” tambahnya.
Persaingan politik kali ini sangat terbuka, dan masyarakat berharap kompetisi yang fair. “Yang menentukan adalah netralitas penyelenggara. Bagaimana KPU dapat menghadirkan pesta demokrasi yang aman dan nyaman,” ujarnya.