Hasil penelitian Yoshinori, kata Saad, secara spesifik menjelaskan mekanisme kerja sel, termasuk ketika seseorang sedang berpuasa.
“Dalam konteks sel, sel itu kan selalu bekerja yah, termasuk ketika ada asupan makanan. Ketika asupan makanan habis, makan sel akan memakan dirinya sendiri,” ujar dia.
“Tapi yang dimakan memang adalah bagian-bagian yang sudah harus dibuang. Maka dengan proses melaparkan diri itu terjadilah. Kalau kita sahur kira-kira pukul 04.00, misalnya pukul 12.00 makanan yang kita pakai sahur sudah diolah dan disalurkan. Setelah itu tidak ada lagi makanan, tapi sel akan terus bekerja, karena itu sel akan memakan bagian-bagian dirinya, tapi itu adalah proses daur ulang untuk melahirkan sel baru,” imbuh Saad.
Sehingga, kata Saad, alasan sebagian ulama menerima hadits dhaif benar-benar untuk kebermanfaatan bagi manusia.
“Konteks hadits ‘puasa agar sehat’, secara saintifik mendapatkan pembenaran,” tutur dia.
Kisah itu, kata Saad, memperoleh dukungan dari Ian Barbour. Seorang cendekiawan dari Amerika Serikat yang menyoroti hubungan antara sains dan agama. Pandangan Ian Barbour itu belakangan dikenal karena telah menciptakan bidang kontemporer antara agama dan sains.
“Ian Barbour punya pandangan tentang When Science Meet Religion, meskipun ia sendiri tidak mau mengambil sejarah dalam kehidupan barat karena ilmu barat itu gagal memadukan, mendialogkan, apalagi merelasikan hubungan antara agama dan sains. Tapi dalam konteks ini adalah agama yang mereka peluk yang tentu bukan Islam,” papar Saad.