“Ismail terkenal karena profesionalisme dan dedikasinya, membawa perhatian dunia terhadap penderitaan dan kekejaman yang terjadi di Gaza, terutama di Rumah Sakit Al-Shifa dan wilayah utara,” kata Redaktur Pelaksana Al Jazeera Mohamed Moawad dikutip dari Truhtout.
“Tanpa Ismail, dunia tidak akan melihat gambaran mengerikan dari pembantaian ini. Ismail adalah jurnalis yang gigih dan tidak mau menyerah pada kelaparan, penyakit, dan kehilangan saudaranya,” lanjut Moawad. “Dia tanpa henti meliput kejadian tersebut dan menyampaikan realitas Gaza kepada dunia melalui Al Jazeera. Suaranya kini telah dibungkam. Ismail memenuhi misinya untuk rakyatnya dan tanah airnya,” tegasnya.
Kematian para jurnalis tersebut adalah bagian dari kampanye Israel selama puluhan tahun terhadap jurnalis Palestina ketika mereka melaporkan kekejaman yang dilakukan pasukan Israel di Gaza, Tepi Barat yang diduduki, dan sekitarnya.
Al Jazeera telah menghadapi penindasan paling brutal yang dilakukan Israel, yang baru-baru ini melarang media tersebut beroperasi di Israel. Pembunuhan al-Ghoul dan al-Rifi menjadikan jumlah total jurnalis Palestina yang terbunuh dalam serangan genosida Israel menjadi 165 orang.
Rekan-rekan Al-Ghoul dan al-Rifi di Al Jazeera dan tempat lain di Gaza berduka atas kematian mereka, banyak yang menangis ketika melaporkan kematian tersebut di depan kamera. Jurnalis Al Jazeera Anas al-Sharif berada di rumah sakit ketika jenazah mereka dibawa masuk.
“Ismail menyampaikan penderitaan warga Palestina yang terlantar dan penderitaan mereka yang terluka serta pembantaian yang dilakukan oleh pendudukan [Israel] terhadap orang-orang tak berdosa di Gaza,” katanya.