Isu hal ihwal ketahanan pangan sebenarnya bukanlah isu baru, isu ini sudah dibahas sejak abad ke 17 salah satunya oleh Thomas Robert Malthus (1766–1834). Malthus menerangkan bahwa laju pertambahan penduduk meningkat berdasarkan deret ukur, sedangkan produksi pangan berdasar deret hitung.
Deret ukur dalam pemahaman Malthus diartikan sebagai terjadinya peningkatan berdasar kelipatan yakni: 1, 2, 4, 8, dan seterusnya. Sedangkan deret hitung menjelaskan bahwa peningkatan terjadi berdasar penambahan tetap dengan angka variabel penambah 1, yakni 1, 2, 3, 4 dan seterusnya.
Dapat dikatakan bahwa teori Malthus mengingatkan bahwa secara alamiah generasi yang akan datang akan memiliki permasalahan yang lebih kompleks berkaitan dengan ketersediaan pangan, dibanding dengan generasi sebelumnya (Karen, et al 2015).
Dalam menghadapi krisis iklim dan bonus demografi Ketersediaan pangan pangan tidak hanya menyangkut soal kebutuhan pokok manusia, tetapi ketersediaan pangan dapat mempengaruhi kondisi politik suatu kerajaan atau bahkan Negara dapat terganggu karena kegagalan pemerintahnya dalam menjaga ketersediaan pasokan pangan. Bahkan dalam bingkai kemanan non konvensional (non-conventional security approach), soal pangan itu penting.
Dalam konteks ini pangan dapat dilibatkan pada operasi yang rendah kekerasan (low intensity conflict) yang pada umumnya mengandalkan kehancuran ekonomi dan keresahan masyarakat sebagai menia utama dalam memenangkan pertempuran atau menumbangkan suatu rezim (Khudori,2008).