English English Indonesian Indonesian
oleh

Aku-Individu, Aku-Kolektif

Konflik Bouazizi dan Hamdi, pedagang kaki lima dan pejabat, menciptakan eskalasi setelah tersebar kabar Bouazizi tewas akibat bakar diri. Identitasnya sebagai pedagang kaki lima menjelma menjadi identitas kolektif dari himpunan besar yang mewakili “perasaan diperlakukan tak adil”.  Konflik dua individu —- dua “aku” — menjelma menjadi Revolusi Tunisia. Negara tetangga kena imbasnya: Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah.

Revolusi Tunisia, oleh Francis Fukuyama, dibilangkan sebagai revolusi harga diri. Revolusi dimulai oleh tuntutan thymos, yaitu aspek universal pada kepribadian manusia untuk diakui, lalu segera berubah menjadi isothymos, yakni kebutuhan manusia untuk diperlakukan secara setara. Peristiwa yang semula kecil, lalu menjalar dan menjelma menjadi pemberontakan sosial berskala revolusi. Bakar diri Bouasisi menggeser perasaan publik. Identitas individu sebagai pedagang kaki lima berubah secara dramatik menjadi identitas massa yang merasa senasib dengan Bouazizi.

Harga diri memang berdimensi banyak. Ia terbentuk oleh keseimbangan id dan superego, sebagaimana pendakuan Freud. Ia pun terbangun melalui keseimbangan hubungan timbal balik antara anima dan animus, begitu kata Jung. Fukuyama lalu menambahkan, secara sosial dan politik, harga diri tidak ditentukan oleh diri sendiri. Harga diri hanya bisa tegak di atas kekuasaan yang memangku pengakuan (recognition) terhadap individu dan kelompok lain. Tanpa semua ini, “aku-individu” dan “aku-kolektif”, tetap terbuang. Persona “aku-lirik” Chairil Anwar penting disimpan di tugu ingatan. (*)

News Feed