English English Indonesian Indonesian
oleh

Pemilu 2024, Demokrasi dan Kesejahteraan Masyarakat

Oleh : Muh. Akmal, Ketua Umum Lembaga Investigasi Korupsi Indonesia (LIKINDO)

PEMILU bukanlah sekadar sebuah kegiatan rutin yang diadakan hanya memenuhi mekanisme system politik saja. Melainkan lebih dari itu, Pemilu adalah bagian dari proses pembangunan politik bangsa yang menuntut kesadaran peran serta setiap warga Negara, sesuai hak dan kewajibannya masing-masing dalam tatanan kehidupan yang dianut. Oleh karenanya, tidak ada alternative lain bagi semua warga Negara dan kekuatan bangsa kecuali harus berupaya menyukseskan pelaksanaan Pemilu di seluruh Indonesia.

Adapun dasar hukum dilaksanakannya pemilu adalah pasal 22 E ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 berbunyi: ”Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”, yang telah mengamanatkan diselenggarakannya pemilu dengan berkualitas, mengikutsertakan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas prinsip demokrasi yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil melalui suatu perundang-undangan.

  Memang Pemilu pada dasarnya mengandung makna yang luas, bukan hanya sistemnya semata akan tetapi tak kalah pentingnya proses, mekanisme serta pelbagai komponen yang terlibat dalam pelaksanaan Pilkada itu sendiri. Karena  substansi yang terpenting dari system Pemilu sejauhmana pelaksanaan Pemilu itu berjalan dengan baik, elegan, lancar sesuai cita-cita demokrasi.

Demokrasi yang dijalankan negara sejatinya bukan hanya secara prosedural demokrasi, yakni melihat demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang lebih menitikberatkan pada cara-cara demokratis seperti mufakat dan voting. Tetapi lebih dari itu adalah demokrasi substansial adalah sebuah demokrasi yang substansinya lebih bermuatan pada prinsip-prinsip demokrasi seperti kebebasan individu dan pengakuan hak-hak sipil sebagai pelaksana demokrasi.

Karenanya, pemilu merupakan mekanisme kekuatan politik yang ada baik berupa partai-partai politik, kelompok kepentingan (interest groups) maupun kelompok penekan (pressure groups) untuk dapat mengontrol atau sekurang-kurangnya memengaruhi tindakan serta kebijakan-kebijakan suatu pemerintahan. Kedudukan system pemilu merupakan alat untuk melegitimasi kekuatan yang ada, sehingga dari situ diharapkan aspirasi suatu kelompok berkekuatan dapat dimanifestasikan.

Sementara itu dalam rangka melibatkan peran masyarakat semaksimal mungkin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, diperlukan iklim yang kondusif (baca: demokratis). Sistem pemilu merupakan alat sekaligus bukti untuk memberi peluang secara adil kepada setiap kelompok politik untuk berperan serta bersama-sama melahirkan kekuatan nasional. Olehnya itu, system pemilu sangat berpengaruh dalam konteks legalitas, keadilan dan peran serta masyarakat. Sistem pemilu juga penting untuk mencawab pertanyaan : Sejauhmana kepentingan masyarakat mendapat tempat tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Masalahnya sekarang adalah: apakah Pemilu yang selama ini dilakukan berkorelasi positif terhadap peningkatkan harkat, martabat, serta tingkat kesejahteraan masyarakat lebih baik? Menarik untuk dikaji hasil penelitian Saymour Martin Lipset (1960) yang mengatakan bahwa: terdapat korelasi kuat antara kondisi ekonomi suatu bangsa dengan terbentuknya demokrasi yang stabil. Artinya, semakin tinggi pemahaman suatu bangsa terhadap demokrasi maka semakin mapan pula ekonomi bangsa itu. Sebaliknya, semakin kerdil atau kecil pemahaman suatu bangsa akan demokrasi maka tingkat pertumbuhan ekonomi semakin tidak menentu.

Realitas claim Lipset ini sangat didukung oleh berbagai penemuan dunia politik kontemporer dewasa ini. Indikator dari claim tersebut dapat dilihat pada variable berikut ini: semua Negara kaya yang memiliki GNP (growth nasional product) perkapita di atas US$6.000 adalah Negara-negara demokrasi, kecuali Negara pengeksport minyak seperti Arab Saudi. Semua Negara miskin yang memiliki GNP perkapita dibawah US$450 adalah Negara yang tak demokrasi, kecuali India dan Sri Langka. Sedangkan Negara-negara yang berpenghasilan menengah (US$450-6.000) sebagian demokrasi sebagian tidak. Kalau begitu Indonesia berada pada posisi dimana? Apakah pemilu yang telah kita lakukan selama ini telah mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik?

Fakta menunjukkan dari beberapa Pemilu yang telah dilakukan selama ini menunjukkan adanya rentan memicu konflik, sengketa dan amuk massa. Sejatinya Pemilu yang dilakukan harus bermuara sebagai perekat bangsa justru menjadikan kelas bawah (grass root) saling bermusuhan dan putus tali shilaturrahmi. Jika ini yang terjadi maka pelaksanaan pemilu cenderung hanya menjadi hajatan atau pesta politik yang melelahkan. Sebuah pesta politik dengan biaya tinggi dan belum menjanjikan bagi perbaikan ekonomi masyarakatnya. Bahkan menjadi beban bagi masyarakat, bangsa dan Negara. (*)

News Feed