Ketiga, para advokat terduga pelaku, dengan keahlian hukum dan retorika mereka, secara aktif memanipulasi opini publik. Mereka membangun narasi yang menempatkan terduga pelaku sebagai korban keadaan, dihantui oleh masa lalu yang kelam dan didorong oleh situasi yang memaksa mereka untuk melakukan tindakan kriminal. Narasi ini secara halus mengalihkan fokus dari tindakan kriminal terduga pelaku, dan alih-alih memicu empati, justru menimbulkan simpati dan bahkan pembenaran atas tindakan mereka.
Fenomena viktimisasi berganda dalam kasus Eky dan Vina merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Korban yang sudah kehilangan nyawa, kini harus menanggung beban stigma dan fitnah. Hal ini tidak hanya berdampak pada korban dan keluarga, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan pidana.
Perhatikan saja keluarga Vina dan Ayah Eky yaitu Rudiana, justru menjadi objek pengalihan isu dengan beragam modus pencemaran nama baik dan pembunuhan karakter. Prinsip praduga tak bersalah yang sudah menjadi pengetahuan standar para advokat, tak lagi diindahkan demi gengsi untuk menunjukan superioritas. Mereka seakan berpesta di atas penderitaan korban dengan pongah dan arogan melontarkan beragam tuduhan kepada siapapun yang berada di pihak korban. (*)