Oleh Feri Tas / Asisten Perdatun Kejati Sulsel
Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia sebagai penegak hukum, bukan semata sebagai penegak undang-undang.
Hal ini dapat diartikan bahwa sebagai penegak hukum tentu harus mengedepankan nilai keadilan dan kebenaran dalam menjalankan tugas dan kewenangan, tidak dilimitasi pada undang-undang semata. Penegakan hukum sebagai proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam hubungan-hubungan hukum di kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Senada dengan komitmen Jaksa Agung RI, Prof ST Burhanuddin, dalam berbagai kesempatan selalu menegaskan bahwa insan Adhyaksa harus bekerja menggunakan hati nurani dan akal sehat yang konsisten pada kebenaran. Segala aktivitas insan Adhyaksa harus mendukung penguatan Kejaksaan, baik dalam penegakan hukum maupun pelayanan publik. Stigma bahwa hukum itu tajam ke bawah dan tumpul ke atas, harus segera diterabas. Pemikiran prestisius dalam mengkaji kewenangan Kejaksaan berdasarkan asas dominus litis (pengendali perkara), memunculkan regulasi spektakuler berupa Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Menguatkan kewenangan
Rentang waktu dan dinamika ketatanegaraan serta arah politik hukum telah memberikan wajah baru terhadap institusi Kejaksaan, mulai dari rumpun kekuasaan, kewenangan hingga dasar pengaturannya. Perubahan tersebut merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan sebagai sejarah Kejaksaan dalam menyemai kebangsaan Indonesia. Kejaksaan sebagai pilar utama penegakan hukum tanpa henti menjadi katalisator dalam rangka transformasi penegakan hukum.