Berbagai masalah global tersebut kemudian mempengaruhi tren perkembangan perekonomian domestik di beberapa negara emerging market. Di Indonesia, 0toritas moneter BI bereaksi cepat dengan mengikuti pola kebijakan suku bunga tinggi global, utamanya dollar AS dengan target untuk menstabilkan harga dan memperkuat nilai tukar Rupiah yang cendrung semakin tertekan.
Tapi akibatnya, segera berdampak pada naiknya suku bunga di pasar kredit perbankan, akibatnya permintaan kredit menurun serta tertekannya Indeks Harga Saham Gabungan di pasar modal. Kelas menengah pemegang asset keuangan termasuk pengusaha bereaksi dengan berperilaku spekulatif di pasar keuangan maupun asset lainnya, maka tabungan para pelaku di perbankan seret, konsumsi dikurangi, dan pelaku usaha mempraktekkan rumus sakti, “wait and see”.
Dari sisi ekonomi dan keuangan, masalah tersebut dikenal sebagai kondisi berkurangnya likuiditas asset keuangan dalam perekonomian, yang bisa merusak sendi ketahanan moneter dan keuangan domestik. Jika berkelanjutan, akan berdampak negatif pada sektor produktif sektor riel perekonomian, investasi, dan kegiatan ekspor dan impor. Sehingga PHK pada industri tertentu meningkat, seperti dialami sektor industri tekstil dan alas kaki, termasuk tertekannya industri pengolahan untuk ekspor, akibat ketergantungan industri subtitusi impor dari bahan baku impor yang harganya mahal. Akibatnya, pendapatan masyarakat kebanyakan tertekan, daya beli berkurang, dan meningkatnya tingkat kemiskinan. Celakanya, bersamaan dengan itu masyarakat dari berbagai kelas terutama kelas bawah terjebak perilaku judi on line dan tindakan kriminal hanya untuk memenuhi butuhan hidup mereka.