Oleh: Abd Rahman Hamid / Dosen Sejarah UIN Raden Intan Lampung; Peserta MBJR 2024
Sejauh ini, ketika pemerintah pusat melakukan kegiatan riset, diskusi, dan festival Jalur Rempah, sejumlah pemerintah daerah tidak bisa mengambil bagian dari kegiatan itu karena menganggap bahwa daerahnya tidak termasuk daerah produksi atau jalur rempah. Walhasil, Jalur Rempah hanya menjadi agenda segelintir daerah saja.
Anggapan tersebut tidak seharusnya terjadi, bila Jalur Rempah dipahami sebagai sebuah ekosistem dalam sejarah Indonesia. Artikel ini membagi tiga daerah terkait Jalur Rempah yaitu: (1) daerah produksi rempah, (2) daerah di jalur rempah, dan (3) daerah penyangga daerah produksi dan jalur rempah.
Dalam buku Sejarah Rempah, Jack Turner menulis bahwa tidak kurang dari 188 jenis rempah yang dikenal pada abad ke-14. Namun, ia hanya membahas empat jenis saja yaitu lada, kayu manis, pala, dan cengkih. Dari empat rempah ini, ladalah yang paling bernilai historis, kata Turner, karena ia bukan tanaman asli Nusantara. Lada berasal dari pantai Kerala India Selatan yang dibawa oleh pelaut dan pedagang India lewat Samudera Pasai dan Pidie sekitar abad ke-13, lalu dibudidayakan di berbagai daerah di Nusantara antara abad ke-15 dan 16, sehingga dikenal sebagai satu jenis rempah dari Sumatera, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan.
Begawan sejarah Asia Tenggara, Anthony Reid, dalam magnum opusnya, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga (2 jilid), menulis bahwa ada tiga jenis rempah yang paling besar pengaruhnya terhadap sejarah dunia, yang disumbangkan oleh Asia Tenggara pada Kurun Niaga (1450-1680) yaitu cengkih, pala, dan lada. Komoditas inilah yang membuat bangsa-bangsa di dunia datang ke Nusantara untuk berdagang dan sekaligus menyebarkan agama dan kebudayaan mereka.