Dari tiga jenis rempah tersebut, hanya cengkih dan pala yang merupakan tanaman asli Nusantara dari Kepulauan Maluku dan Banda. Dalam Suma Oriental karya Tome Pires (1512-1515) disebutkan bahwa cengkih dan pala tidak ditemukan di tempat lain, kecuali di dua daerah tersebut, kata para pedagang Melayu yang membawa rempah ke pelabuhan utama (entrepot) Malaka.
Sebutan Maluku tidak merujuk pada seluruh daerah Maluku yang dikenal sekarang, yaitu Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Maluku. Pada mulanya, nama Maloko (Maluku) diperuntukan bagi daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan (Bacan, Jailolo, Ternate, dan Tidore) di Maluku Utara (sekarang Provinsi Maluku Utara) yang menghasilkan cengkih, sementara Banda sebagai satu-satunya daerah penghasil pala disebut Wandan (Banda).
Maloko dan Wandan merupakan daerah awal dan utama yang menghasilkan cengkih dan pala, seperti disebut dalam sumber-sumber asing di Asia (Cina, Arab, dan India) dan Eropa. Setelah itu, sekitar abad ke-16, cengkih dari Maloko dibudidayakan di Pulau Seram, Ambon, dan pulau-pulau lain di Maluku Selatan. Daerah-daerah yang disebut terakhir kelak dikenal dengan sebutan Ambon dan pulau-pulau Lease, kemudian bersama Banda disebut Maluku Tengah (sekarang Provinsi Maluku). Dengan demikian, konsep Maluku dibentuk oleh perdagangan dan jalur rempah.
Keberlangsungan produksi dan perdagangan rempah di Maluku didukung oleh daerah sekitarnya. Ketika penduduk Banda sibuk mengolah rempah untuk memenuhi kebutuhan pasar global, penduduk Kepulauan Aru datang ke sana membawa berbagai kebutuhan sehari-hari untuk dibarter dengan barang-barang yang dibawa oleh pedagang rempah dari luar Nusantara yang telah dibeli oleh penduduk Banda.