FAJAR, JAKARTA — Bencana terus melanda di berbagai wilayah Indonesia. Baik bencana banjir, longsor, gempa, maupun kekeringan. Semua itu bulan karena tiba-tiba. Akan tetapi, juga dipengaruhi perubahan iklim.
“Media perlu lebih aktif untuk liputan lingkungan. Memang hal itu sangat tidak mudah. Melalui kolaborasi juga bisa. Ada banyak strategi yang dapat dilakukan. Termasuk melalui Pulitzer fellowship,” kata President of World Federation of Science Journalists (WFSJ), Harry Surjadi, dalam diskusi yang digelar UNESCO – UK Indonesia di Sky Room Hotel Mercure, Kamis, 11 Juli 2024.
Dalam kondisi ekonomi yang tidak pasti, biaya liputan kerap menjadi hambatan dalam melakukan peliputan terkait perubahan iklim. Khususnya dampak masalah lingkungan yang dipicu aktivitas pertambangan.
Tidak sebatas itu, media yang kini menjadi sebuah industri, pastinya akan berbenturan dengan urusan bisnis. Hanya saja, sebagai pilar demokrasi keempat, integritas media harus tetap terjaga.
Bukan hanya kepentingan perusahaan, Ade Wahyudin, Executive Director, Legal Press Aid (LBH Pers) menyebut, tantangan atau rintangan media kedepan kian berat. Di mana, media akan mudah berhadapan dengan masalah privasi.
Meski demikian diakuinya, ada beberapa isu yang dapat menjadi pintu masuk bagi jurnalis untuk melaksanakan liputan. Paling utama adalah kepentingan publik. Perubahan iklim adalah salah satunya.
Juga, kata dia, terkait pencemaran air dan udara, serta deforestasi. Lalu, pintu masuk kedua adalah melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah dan perusahaan.