Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf
(Dosen FEB Unhas)
FAJAR, MAKASSAR — Apresiasi dan depresiasi mata uang suatu negara terhadap mata uang lainnya, secara spesifik dolar Amerika Serikat (AS) adalah fenomena yang lumrah terjadi.
Hal ini, sama dengan periode naik dan turun dalam suatu perekonomian yang kemudian disebut sebagai business cycle (siklus bisnis). Permasalahannya, berapa lama suatu perekonomian atau secara spesifik mata uang berada pada fase bust (turun) kemudian kembali memasuki fase booming (naik). Semakin lama berada di fase turun semakin buruk dampaknya terhadap perekonomian.
Saat ini, perekonomian global sedang mengalami trend penguatan dollar AS atau pelemahan mata uang Emerging Market Ecnomies (EMEs), termasuk rupiah. Dimana hingga pertengahan Juni 2024, rupiah terdepresiasi hampir 10% terhadap dollar AS secara year on year (y.o.y).
Hingga hari Senin, 1 Juli 2024, rupiah per dollar AS sudah mencapai angka Rp. 16.321 per dollar AS. Hanya sedikit menguat, yaitu sekitar 0,3% dibandingkan posisi sebelumnya. Kondisi ini menciptakan kekhawatiran, apakah hal ini akan berlangsung lama atau bisa segera memasuki periode apresiasi?
Terkait dengan hal ini, dua bank investasi global yang berbasis di AS, yaitu Goldman Sach dan J. P. Morgan mempublikasikan artikel dengan nada yang sama, yaitu penguatan dollar AS masih akan berlangsung dalam waktu yang panjang. Paling tidak hingga 12 bulan ke depan.
Bank investasi global, Goldman Sach menerbitkan artikel berjudul: “Why the US dollar is likely to stay stronger for longer” (Rabu, 26/06/2024). Dimana penguatan dollar AS telah terjadi dalam lima bulan terakhir yang diperkirakan akan berlanjut hingga 12 bulan mendatang. Pemicunya adalah kondisi perekonomian AS yang membaik, suku bunga tinggi akibat inflasi tinggi, dan pendapatan surat berharga AS yang tinggi.