Oleh: Abdul Gafar, Pendidik di Departemen Ilmu Komunikasi Unhas Makassar
Apabila penulis teringat peristiwa ini, timbul rasa trauma yang mendalam.
Kalimat yang keluar dari mulut seorang yang mengaku polisi sungguh membuat hati ini terkejut. Terlihat begitu angkuh dengan status yang disandangnya. Apakah tidak ada kalimat yang sedikit sopan dalam memperkenalkan dirinya sebagai Aparat Penegak Hukum? Datang dengan suara membentak agar dibukakan pintu pagar. Seolah-olah sedang mengejar ‘penjahat besar’ yang takut kehilangan buruan.
Penulis baru saja menyelesaikan salat Ashar saat itu. “Bapak membeli barang curian. Ini pencurinya”, katanya dengan wajah garang. Penulis baru teringat bahwa baru saja membeli sebuah alat pertukangan. Rupanya itu barang curian. Harganya Rp110 ribuan. Penulis tidak menyangka barang itu diperoleh dengan cara mencuri. Alasannya menjual barang orang tuanya karena ia lapar dan butuh makan. Awalnya, penulis menolak dengan alasan bahwa itu tidak diperlukan. Tetapi karena memelas dan memaksa, maka dengan spontan ‘terpaksa’ dibeli. Rupanya alasan kemanusiaan akhirnya membawa ‘petaka’ bagi penulis.
Sore itu, penulis diwajibkan datang ke kantor polisi untuk dimintai keterangan sebagai saksi katanya. Setelah ditanya-tanyai dari ruangan ke ruangan, akhirnya dibuatkan proses acara. Ternyata penulis dikenakan pasal penadah. Wah, pasal ini ‘seenaknya’ dituduhkan kepada penulis. Definisi ini seharusnya dikenakan kepada orang yang memang profesinya membeli barang-barang yang tidak jelas asalnya secara berulang-ulang. Posisi penulis, hanya kebetulan membantu tanpa mencari keuntungan dari transaksi itu.