Apalagi, sudah banyak kasus di lembaga-lembaga asuransi pemerintah besar yang sudah lama beroperasi. Prinsipnya, penolakan terjadi karena kebijakan tersebut buru-buru diluncurkan.
“Tampaknya tidak ada proses perencanaan yang baik dan diketahui publik, apalagi disosialisasikan. Diterapkan begitu saja. Ini jelas merupakan tanggung jawab pemeeintah dan DPR yang harus dicarikan solusi,” imbuh dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FIB) Unhas ini.
Alasannya, sudah terbentuk di masyarakat ketidakpercayaan terhadap kebijakan yang mengatasnamakan kepentingan rakyat, tetapi rakyat tidak merasakan itu dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahtearaan mereka.
Di negara lain yang telah banyak mempraktikkan kebijakan tersebut, memang sangat hati-hati pemerintah dan DPR-nya menetapkan. Itu pun diinisiasi dan didanai awalnya oleh pemerintah melalui kebijakan subsidi perumahan yang tidak memberatkan, dan hasilnya diperoleh lebih awal oleh pekerja, di belakang hari baru mereka mencicilnya sesuai kemampuan.
“Jadi bukan sebaliknya, diptong dulu, baru hasilnya belum jelas legal dan faktanya ada atau tidak, serta sudah menjadi fobia mereka karena banyak lembaga seperti itu gagal memenuhi kewajibannya secara penuh,” tambah Marsuki.
Seharusnya, model Tapera mencontoj yang dilakukan Perumnas dalam wujud modern, yakni membangun rumah baru dicicil. Dengan begitu, masyarakat yakin dan percaya, karena ada bukti yang mereka rasakan.
Masalahnya, dalam kondisi kemampuan fiskal pemerintah yang terbatas saat ini, kebijakan tersebut akan berat dilakukan. Akibat adanya juga program strategis nasional (PSN) yang sebenarmya belum prioritas, tetapi dipaksakan.