Oleh: Taufik Hasyim M.I.Kom
Dosen Ilmu Komunikasi UMI/Praktisi Media
Penayangan eksklusif liputan investigasi tidak lagi diberi ruang di draf revisi undang-undang (UU) Penyiaran.
Aturan ini jika diberlakukan dinilai banyak kalangan khususnya komunitas pers akan membuat masa depan jurnalisme di Indonesia menjadi suram. Aturan larangan penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi ini termuat di Pasal 50 B ayat 2 huruf (c). Pasal ini dinilai mengekang kebebasan pers sehingga memantik penolakan secara masif dari pekerja media, peneliti media, akademisi hingga Dewan Pers.
Larangan penyiaran liputan investigasi secara eksklusif ini tentu membingungkan dan patut disayangkan. Liputan investigasi atau investigative reporting jelas berbeda genrenya dengan jurnalistik lainnya karena jurnalistik investigasi sebenarnya berperan menjaga kesehatan demokrasi.
Atmakusumah Astraatmadja dalam Laporan Penyidikan (Investigative Reporting: 2001), menyebutkan jika reporting berasal dari bahasa Latin reportare, artinya membawa laporan kejadian dari sebuah tempat pada saat telah terjadi sesuatu. Sedangkan investigative berasal dari kata vestigum, artinya jejak kaki. Sehingga liputan investigasi atau investigative reporting fokus pada pengungkapan fakta-fakta atau jejak tersembunyi tentang kesalahan, pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan publik.
Robert Greene dari Newsday yang dikenal sebagai tokoh jurnalisme investigasi modern memunculkan istilah post factum dalam liputan investigasi. Pendekatan post factum ini merujuk pada laporan atau tindakan yang dilakukan setelah kejadian itu terjadi dengan tujuan untuk mengevaluasi dan mengungkap fakta-fakta yang mungkin belum terungkap sebelumnya karena disembunyikan atau dirahasiakan.