Lewat pengelolaan tambang itu, akan menjadi sumber pendanaan.
Gus Yahya mengatakan di urusan pendidikan, masih terbuka upaya untuk peningkatan pelayanan. Dia mencontohkan di Pesantren Lirboyo Kediri dengan jumlah santri mencapai 43 ribuan orang.
Di pesantren tersebut, memiliki kamar yang ukurannya 3×3 meter persegi dan untuk 60-70 orang santri.
’’Sehingga kamar itu hanya dipakai menaruh barang santri,’’ katanya.
Santrinya memilih tidur di selasar madrasah, di masjid atau lainnya. Contoh lainnya banyak guru-guru di TK atau RA yang dikelola Muslimat NU yang bergaji minim. Ada yang hanya digaji Rp 150 ribu per bulan. Jika hanya mengandalkan pemerintah, urusan pesantren dan guru TK tersebut lama terselesaikan.
Gus Yahya menegaskan PBNU membutuhkan sumber pemasukan. Kemudian mengelola tambang itu juga menjadi sumber pendapatan yang sah dan halal. Meskipun butuh proses. Dia mengatakan kebijakan ini bukan seperti PBNU mendapatkan nasi bungkus, kemudian langsung bisa dimakan.
Di bagian lain Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pdt Gomar Gultom menyampaikan dirinya memang mengapresiasi kebijakan Presiden Jokowi tersebut. Tetapi dia meminta publik tidak memahaminya bahwa PGI sedang menyediakan diri untuk ikut dalam pengelolaan tambang.
Dia menegaskan sejak awal menyampaikan lembaga keagamaan memiliki keterbatasan untuk urusan itu. ’’Saya juga mengimbau lembaga keagamaan untuk fokus pada pembinaan umat,’’ tuturnya.
Gomar mengatakan dirinya menghormati keputusan lembaga atau ormas keagamaan yang memilih memanfaatkan kesempatan dari pemerintah tersebut.