FAJAR, MADINAH-RAUDAH menjadi tempat yang mustajab untuk berdoa. Itu pula yang menjadi alasan umat Islam yang melaksanakan umrah maupun haji menjadikan Raudah sebagai tujuan usai menjalankan salat berjemaah di Masjid Nabawi.
Jemaah selalu antusias berdoa di antara makam dan mimbar Rasulullah. Itu bisa dilihat dari panjangnya antrean di pintu masuk. Baik pintu untuk laki-laki maupun perempuan. Demikian pula di antrean yang menggunakan aplikasi nusuk.
Pada Rabu pagi kemarin, 22 Mei 2024, usai salat subuh di Masjid Nabawi, saya dan Hikmah, rekan dari Media Centre Haji (MCH) menyaksikan bagaimana semangat jemaah antre di salah satu pintu masuk Raudah.
Kami juga bertemu dengan Sakiyem Binti Somo Sandim di depan pintu nomor 338 Masjid Nabawi dekat tempat pengambilan air zamzam. Perempuan berusia 82 tahun itu bertanya ke petugas kebersihan di mana arah pintu Raudah. Kami yang mendengar langsung mendekati dan menawarkan bantuan. Sakiyem yang datang sendiri ke Nabawi dengan menggunakan kursi roda langsung sumringah dan menerima baik tawaran kami.
Sakiyem bercerita bahwa dia sudah tiga kali dijanji teman serombongannya akan diajak ke Raudah. Namun hingga Rabu kemarin, dia belum diajak-ajak padahal teman-temamnya sudah berkunjung ke sana. Maka ketika kami menawari akan mengantarnya masuk Raudah, dia terlihat sangat bersemangat. Matanya berbinar. Tangannya menggenggam tangan Hikmah. Saat menunggu giliran di garis antrean khusus pengguna kursi roda, Sakiyem tak henti melantunkan selawat sembari terisak.
Ketika kami sudah di dalam area Raudah, Sakiyem minta diturunkan ke lantai. Tubuhnya yang berisi saya papah, sementara Hikmah teman saya memegang kursi roda. Sakiyem memilih duduk melantai di atas karpet hijau bermotif khas raudah. Kami menempatkannya pada posisi aman. Setelah yakin dia aman, kami pun membiarkannya sendirian agar bisa khusyu dalam doa. “Ibu di sini saja, kami akan jemput lagi,” pesan kami.
Sakiyem akan kami jemput beberapa menit kemudian.
Saya dan Hikmah bergeser mencari tempat, juga untuk bermunajat kepada Allah, memohon safaat Rasulullah.
Sebenarnya, dua malam sebelumnya. Saya bersama empat orang jurnalis perempuan yang tergabung sebagai petugas di media centre haji (MCH) Daker Madinah, sengaja ke Masjid Nabawi untuk ke Raudah. Jadwalnya Pukul 23.00 WAS. Namun telat tiba di pintu Raudah. Jatah kunjungan untuk perempuan sudah habis.
Sebenarnya, kami ada di Nabawi tepat waktu. Hanya saja, saat mendekati lokasi Raudah, kami menemukan dua jemaah lansia tersesat. Saat itu, waktu sudah mendekati Pukul 23.00 WAS sebagaimana jadwal berkunjung kami ke Raudah.
Sebagai petugas, mengurus jemaah adalah prioritas. “Dua lansia ini seharusnya sudah di kamar hotel beristirahat,” kata Khairina, jurnalis kompas asal Solo, Jawa Tengah.
Tidak berselang lama, kami berhasil mempertemukan mereka dengan ketua kloter. Tugas mengurus jemaah kelar. Namun Raudah sudah tutup.
Pertemuan kami dengan Sakiyem, ba’da subuh kemarin, sebuah berkah. Kerinduan Sakiyem kepada Rasulullah dengan mengunjungi Raudah akhirnya juga mengantar kami bisa tafakur melantunkan doa dalam waktu yang cukup lama di sana di Rabu pagi. Saya pun berujar ke Hikmah, sesungguhnya bukan kami yang mengantar Sakiyem ke Raudah.
Dialah yang mengantar kami ke Raudah dan bisa berpuas duduk melantunkan doa dan selawat tidak jauh dari makam kekasih Allah. Kami yang semula berencana langsung kembali ke kantor Daker Madinah usai salat subuh, dipertemukan Allah dengan Sakiyem. Maka kami menyebutnya berkah.
Usai berdoa, tugas mengurus Sakiyem kami tuntaskan. Wanita yang sehari-harinya menjual durian di kota Lombok itu kami antar hingga ke kamarnya di Lantai 11 Hotel Zaza Regency untuk beristirahat. (er)