“Idealnya selesaikan lah dengan mekanisme hukum khusus pers, itulah lex specialis derogate diberikan ruang ya, untuk diberikan hak jawab, hak koreksi dan seterusnya, kalau keberatan ya dicek lagi mekanisme atau kelembagaan yang disepakati atau yang dimandatkan oleh undang-undang pers yakni Dewan Pers,” tuturnya lagi.
Herlambang kembali menegaskan sengketa pers harss mengikuti mekanisme hukum pers, tidak boleh dikesampingkan. “Jadi sebenarnya mudah-mudahan ya Pengadilan Negeri Makassar lebih memberi perhatian kepada upaya perlindungan kebebasan pers, sebagimana kasus-kasus sebelumnya,” ungakpnya.
“Karena kasus ini kan berungkali ya. Dulu pernah persoalkan tapi kan menang juga, kemudian kasus lainnya yang ekstrem yang Rp100 triliun, itu juga gak masuk akal dan pengadilan cukup jelas memberikan putusan,” lanjutnya.
Saat ditanya apakah pelanggaran etik adalah perbuatan melawam hukum? Herlambang menegaskan pelanggaran etik tidak bisa disebut perbuatan melawan hukum (PMH). Sebab, pelanggaran etik harus diselesaikan lewat etik pula.
“Dan kewenangannya Dewan Pers untuk menyelesaikan, mekanismenya, ya, hak jawab itu, sesederhana itu. Kasus ini sebenarnya kasus mudah, kasus mudah. Karena banyak sekali pembelajaran hukum sebelumnya untuk mengatakan kasus ini kasus mudah, apalagi ini urusannya pejabat publik, gak pake pers saja sebenarnya bebas ya,” tandas Herlambang.
Di tempat yang sama, Direktur LBH Pers Makassar, Fajriani Langgeng, optimis bahwa kliennya selaku tergugat akan mendapat angin segar dalam akhir sidang nanti.