SuarA: Nurul Ilmi Idrus
Uang kembalian adalah bentuk transaksi yang bertujuan untuk pembayaran dan penyelesaian kewajiban yang harus dipenuhi dengan penggunaan uang, sehingga transaksi tersebut wajib dibayar dengan menggunakan uang.
Jika merujuk pada UU No. 7/2011 tentang Mata Uang, alat pembayaran yang sah pada dasarnya adalah uang, bukan permen atau pengganti lainnya. Pada pasal 21 (ayat 2), misalnya, dijelaskan bahwa rupiah wajib digunakan dalam penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan/atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah Indonesia.
Dengan demikian, jika penjual atau pedagang yang tidak menjalankan ketentuan tersebut, maka yang bersangkutan dapat dikenai pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp200 juta (pasal 33, ayat 1). Jika pembeli dan penjual menyepakati kondisi (baca: pengembalian non-uang) tersebut, maka penjual tidak akan dikenakan sanksi pidana. Namun, jika pembeli tidak berkenan dan penjualnya memaksa mengganti kembalian dengan barang dagangan lain senilai uang kembalian, maka UU Mata Uang menjadi payung hukum untuk mengatasi permasalahan terkait.
Permen pernah menjadi tren pengganti uang kembalian pada masa lampau, seperti di cafe, toko, swalayan, supermarket, dll. Sejak lahirnya UU ini, uang kembalian dalam bentuk permen berangsur hilang. Namun, muncul tren baru dimana jika tidak ada uang kembalian antara Rp100,- dan Rp400,-, bahkan Rp500,- hingga Rp1.000,-, maka yang terjadi adalah uang kembalian tidak dikembalikan. Kasir café biasanya mengatakan: “Maaf kurang Rp400,-, tidak ada uang kecil”, jika kurang dari jumlah itu, maka biasanya tidak ada pernyataan apapun, seakan-akan uang tersebut adalah milik kasir/penjual, dan konsumen harus menerimanya karena tidak ada upaya untuk segera mengembalikan setelahnya. Uang kembalian menghilang terbawa angin puting beliung.