Di swalayan-swalayan, hal serupa terjadi dan lebih ironi karena jangankan minta maaf, kembalian antara Rp100,- dan Rp400,- seakan tak perlu pernyataan apapun dan seakan ada “kewajiban” di antara kasir dan konsumen, bahwa kasir “wajib” mengambil uang kembalian konsumen dan konsumen “wajib” menerimanya. Ini mengindikasikan bahwa ada semacam “kesepakatan tidak tertulis” antara kasir dan konsumen bahwa uang kembalian itu menjadi milik kasir dan konsumen wajib menanggungnya karena tidak ada uang kembalian.
Padahal jika harga-harga yang tercantum pada makanan atau minuman di café atau barang-barang yang dijual swalayan mencantumkan recehannya, maka penjual wajib menyediakan uang kembalian. Ada yang berkomentar: “Makanya bayar pakai Qris”. Qris atau pembayaran digital (digital payment) lainnya adalah alternatif pembayaran, tapi bagaimana jika konsumen tidak memiliki digital payment sebagai metode pembayaran atau hanya mau membayar dengan uang cash?
Hal semacam ini seringkali terjadi, dan saya percaya bahwa ini tidak dialami oleh satu orang dan tidak terjadi sekali pada orang yang sama, uang recehan jika dikali banyak, tidak lagi menjadi recehan. Mempermasalahkan uang kembalian (baca:recehan) bukan soal pelit, tapi ini soal hak konsumen yang dikebiri oleh kasir/penjual. Banyak orang membiarkan hal itu terjadi karena takut dianggap pelit, malu, atau gengsi karena hanya recehan, apalagi jika ada antrean di belakang yang bersangkutan. Ini membuat perlakuan semacam ini akan berlangsung terus tanpa ada rasa bersalah di pihak kasir/penjual, yang juga berarti bahwa konsumen membiarkan pengebirian uang kembalian terjadi atas “persetujuan” konsumen (by consent), atau ini mungkin harus dimaklumi karena lagi tren? Lembaga Konsumen, how are you?