English English Indonesian Indonesian
oleh

Judicial Activism dalam Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi

Oleh: Dian Fitri Sabrina
Dosen Hukum Konstitusi

Aktivisme yudisial (judicial activism) adalah filosofi yudisial yang menyatakan bahwa pengadilan dapat dan harus bertindak melampaui hukum yang berlaku untuk mempertimbangkan dampak sosial yang lebih luas dari keputusannya.

Kadang-kadang digunakan sebagai antonim dari pengekangan yudisial. Ini biasanya menyiratkan bahwa hakim mengambil keputusan berdasarkan pandangannya sendiri dan bukan berdasarkan preseden.

Definisi aktivisme yudisial dan putusan spesifik yang bersifat aktivis merupakan isu politik yang kontroversial. Pertanyaan tentang aktivisme yudisial berkaitan erat dengan interpretasi yudisial, interpretasi undangundang, dan pemisahan kekuasaan.

Profesor ilmu politik Bradley Canon Kanon, (Bradley C:1983) telah mengemukakan enam dimensi yang membuat pengadilan dapat dianggap sebagai aktivis: mayoritarianisme, stabilitas interpretasi, kesetiaan interpretasi, substansi/proses demokrasi, kekhususan kebijakan, dan ketersediaan pembuat kebijakan alternatif. David A. Strauss (David Strauss, Fakultas Hukum Universitas Chicago: 2010) berpendapat bahwa aktivisme yudisial dapat didefinisikan secara sempit sebagai satu atau lebih dari tiga kemungkinan tindakan: membatalkan undang-undang karena tidak konstitusional, membatalkan preseden yudisial, dan memutuskan interpretasi yang lebih disukai terhadap konstitusi. Di Indonesia Hakim Mahkamah Konstitusi juga menerapkan aktivisme yudisial (judicial activism).

Dalam konteks ini, para hakim dituntut untuk memosisikan dirinya sebagai hakim yang berhak dan berwenang untuk memberikan pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan politik, sosial, dan ekonomi. Black’s Law Dictionary mendefinisikan judicial activism sebagai a philosophy of judicial decision-decision whereby judges allow their personal views about public policy, among other factors, to guide their decisions, usually with the suggestion that adherents of this philosophy tend to find constitutional violations and are willing to ignore precedent.

Sementara dalam Marriam Webster Dictionary, judicial activism merupakan the practice in the judiciary of protecting or expanding individual rights through decisions that depart from established precedent or are independent of or in opposition to supposed constitutional or legislative intent. Secara yuridis hakim harus menerapkan judicial activism yang merupakan amanat Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Praktik judicial activism mulai berkembang di peradilanperadilan karena adanya kebutuhan masyarakat. Hukum yang berlaku kaku dapat mencederai keadilan substantif masyarakat sehingga hakim harus menggali nilai-nilai yang ada dalam masyarakat melalui penemuan hukum maupun intepretasi hukum.

Dalam sengketa perkara hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 di Indonesia, tentu saja hakim Mahkamah Konstitusi akan menggunakan prinsip superioritasnya yaitu menggali kebenaran substantif (keadilan yang sebenar-benarnya) bukan keadilan prosedural semata. Hakim Mahkamah Konstitusi dapat melihat arah dalil yang dimohonkan pemohon dan kebenaran hakiki dalam pertimbangan putusannya nanti dengan melihat segala aspek secara komprehensip.

Salah satu bentuk independensi dan imparsialnya Mahkamah Konstitusi adalah meminta keterangan 4 (empat) orang Menteri Republik Indonesia dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP RI) dalam proses sidang sengketa hasil pemilihan umum 2024, ini adalah salah satu upaya hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengali kebenaran substantif. Sengketa hasil pemilihan umum berdasarkan permohonan Pasangan AMIN (calon Presiden nomor urut 01) didaftarkan dengan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon (AP3) Nomor: 01-01/AP3-PRES/Pan.MK/03/2024. Adapun dalil yang dimohonkan adalah terkait proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024. Bukan saja atas persoalan hasil melainkan juga proses dalam mendapatkan hasil pemilihan umum.

Pihaknya mengklaim bahwa pemilu tidak berjalan sebagaimana mestinya secara jujur, adil, dan bebas, justru pada pemilu tahun ini terjadi pengkhianatan konstitusi yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Dalam naskah permohonan pada intinya mengenai permasalahan pencalonan Wakil Presiden (cawapres) nomor urut 2, berlanjut pada persoalan status cawapres nomor urut 2 sebagai anak presiden yang masih menjabat yang erat kaitannya dengan penyaluran bantuan sosial (bansos) secara masif, ketidaknetralan aparat penyelenggara pemilu, dan keterlibatan aparat pemerintah yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon tertentu.

Tim Hukum Nasional AMIN berharap sengketa ini berakhir dengan dilaksanakannya pemungutan suara ulang (PSU) tanpa menyertakan Cawapres Nomor Urut 2 Gibran Rakabuming Raka. Jika PSU dilakukan, Cawapres Nomor Urut 2 itu harus diganti dengan yang lain. Adapun tujuan penyelenggaraan Pemilu di Indonesia adalah memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis, mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas, menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu, memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengarahan pemilu, dan mewujudkan pemilu yang efektif dan efisien.

Berdasarkan hal tersebut diharapkan hakim dapat dengan cermat melihat persoalan yang terjadi dalam sengketa hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 dengan pendekatan judicial activism untuk menggali keadilan yang sebenar-benarnya dan menemukan keadilan substantif agar proses pemilu sejalan dengan prinsip luber dan jurdil sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945. (*)

News Feed