Oleh: Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddin
Kali ini saya menerima “gangguan” dari seorang aktivis ulama perempuan, Nyai Badriyah Fayumi, untuk mencermati lebih jauh satu tradisi masyarakat Indonesia yang bisa disebut sebagai modal sosial, “modal ngumpul,” “makan gak makan asal kumpul.” Namun Nyai Badriah ingin melihatnya dari perspektif yang lebih positif. Karena menurutnya model kumpul masyarakat kita justeru bisa menjadi penguat integrasi bangsa.
Nyai Badriah menunjuk apa yang dicontohkan Rasulullah dengan pertautan kaum Muhajirin dan Anshar yang kunci bagi “Negara Madinah”. Mereka datang dan bertemu dengan ciri dan karakter mereka, namun mereka melebur di bawah panji Islam. Yang terjadi pada prakteknya, tidak ada lagi perbedaan antara pendatang dan penduduk asli, termasuk dalam mempersepsi tingkat otoritas keberagamaan mereka, meskipun pada realitasnya kaum muhajirin yang lebih dahulu mengenal seluk-beluk Islam.
Demikian pula dengan otoritas kedaerahan, kaum Anshar secara berproses dengan spirit inklusi dari ajaran Islam, tidak lagi mempersepi kaum muhajirin sebagai pendatang yang dibatasi hak-hak kewargaannya.
Apa yang terjadi bagi masyarakat kita sebenarnya model pertautannya bisa mengambil spirit dari persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar. Salah satu yang menarik dari Nyai Badriyah adalah model silaturahmi dengan Grup WhatsApp (WA). Sebuah grup WA dibentuk oleh kesadaran bersama yang memiliki latar belakang kesamaan: asal sekolah, daerah, instansi, angkatan pelatihan, anggota jamaah masjid, tahun berhaji, atau kesamaan hobby.