Kalau ujung pertama tidak manjur, maka cara yang kedua adalah mengapitalisasi peran “ujung itu”. Ujung yang mana? Ujung yang itu, sudah paham kan? Penggunaan “ujung itu” sebagai simbol dari upaya asimilasi, yaitu menikah dengan penduduk asli di rantau orang. Strategi penggunaan ujung ini bukan sembarang diterapkan tetapi digunakan dengan tepat guna. Yang dinikahi adalah keturunan dari orang yang berpengaruh, kalau bisa dengan keluarga kerajaan, bahkan anak raja.
Ujung yang ketiga adalah “ujung badik” dipakai sebagai alternatif terakhir, sekaligus dijadikan sebagai simbol kejantanan. Artinya, bila ujung kedua tidak efektif untuk menyelesaikan masalah kehidupan di rantau, maka dipakailah filosofi ujung ketiga ini. Jadi ujung ketiga ini adalah pilihan terakhir, saat ujung pertama dan ujung kedua mengalami kebuntuan.
Jadi saya melihat, filosofi “ujung” ketiga lebih kepada, “strategi bertahan hidup,” atau meminjam bahasa Bapak Irjen Andi Rian Djajadi, “kemampuan bertahan hidup dalam situasi apapun.” Ujung ketiga ini sekaligus menjadi bekal yang niscaya disiapkan untuk menjadi perantau ulung, bahwa ada situasi ketidakpastian hidup di mana segalanya mengalami kebuntuan hidup, nyawa-pun sering menjadi taruhannya.
Filosofi yang ketiga ini juga bisa menjadi sebuah nilai juang, simbol keberanian, dan penyemangat untuk bertahan hidup. Filosofi inilah yang melengkapi filosofi perahu pinisi, yang digambarkan dalam pepatah: “sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai.”
Masih banyak respons tentang “tiga ujung”. Salah satu teman menyarankan seharusnya bertambah menjadi “empat ujung.” Yang keempat adalah “ujung jari,” khususnya untuk anak-anak generasi Z. Saya langsung tebak, itu pasti maksudnya, penggunaan jari-jari untuk pesan makanan secara online di gadget. (*)