Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf
Dosen FEB Unhas
Ekonom senior AS, Daron Acemoglu dari MIT dan James A. Robinson dari Universitas Harvard dalam bukunya yang berjudul “Why Nations Fail; The Origin of Power, Prosperity and Poverty” sejak awal memperingatkan para pengambil kebijakan.
Keduanya menekankan bahwa keterbelakangan di beberapa negara bukan karena faktor geografi atau budaya, tetapi karena pemimpinnya gagal membuat kebijakan yang tepat dan institusi ekonominya bersifat ekstraktif.
Presiden terpilih Prabowo – Gibran dituntut membuat kerangka kebijakan jangka pendek, menengah dan panjang untuk menjawab tantangan mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, yaitu perekonomian Indonesia nomor empat terbesar dunia berdasarkan Gross Domestic Product (GDP) dengan Purchasing Power Parity (PPP).
Posisi Indonesia tahun 2045 naik empat peringkat dibanding posisinya secara global pada tahun 2024 di peringkat kedelapan. Indonesia hanya kalah dari China, India dan Amerika Serikat (AS). Kekuatan ekonomi Indonesia saat itu jauh lebih baik dibandingkan Jepang peringkat ke-8, Jerman ke-9 dan Inggris ke-10.
Namun, berdasarkan laporan International Monetary Fund (IMF), GDP per kapita Indonesia masih jauh dari GDP per kapita AS di peringkat pertama sebesar 80.034 dollar AS tahun 2023. Peringkat Indonesia tertinggal jauh di posisi ke-112 tahun 2023 dengan pendapatan perkapita hanya 5.016 dollar AS.
Bahkan, perekonomian Indonesia mengalami middle income trap, yaitu terjebak sebagai negara berpendapatan menengah.