Oleh: Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddin
Saya melanjutkan ulasan tentang modal jejaring. Sedikit “gemas” karena mendapat respon “pedas”.
Pertama, sanggahan dari Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi perguruan tinggi saya, Prof. Rasyid Masri. Pak Dekan ini ahli Sosiologi Dakwah. Dia juga memiliki insting bisnis yang bagus.
Menurutnya, kalau harus memilih, dia tetap mendahulukan modal harta. Alasannya, modal harta berupa uang selalu bisa diandalkan secara cepat setiap saat untuk menyelesaikan masalah. Menurutnya, jika ada kebutuhan mendadak keluarga semua bisa diatasi secepatnya dengan harta. Sementara dengan jaringan, membutuhkan proses, permohonan atau omongan. Belum tentu juga hasilnya menggembirakan atau sesuai yang diharapkan.
Ulasan yang lebih menarik datang dari Dekan Fak. Syariah dan Hukum, salah satu Dekan andalan saya, Dr. Abdul Rauf Amien. Saya mengandalkan karena terpikat pada “track record” pendidikan formal dan konsistensi jalur keilmuannya. S1, S2, dan S3-nya semuanya ditempuh di Universitas al-Azhar, Mesir. Bidang keilmuannya fokus pada Hukum Islam. Pernah dikontrak sebagai Dekan beberapa tahun di sebuah perguruan tinggi di Brunei.
Dr. Rauf melakukan refleksi tentang bagaimana sejarah kaum bijak berpihak pada pilihan dua modal sosial itu, dan semua tidak memilih modal harta. Dia menunjuk kasus Nabi Sulaeman yang tidak memilih harta di antara beberapa pilihan yang menggiurkan. Bahkan menurut Dr. Rauf, posisi Rasulullah Muhammad yang menempati urutan pertama sebagai manusia yang paling berpengaruh di dunia dalam buku Michael Hart, karena kemampuannya menahan diri untuk tidak memilih modal harta dalam hidupnya, di mana Rasul berkali-kali digoda untuk mendapatkan kedigdayaan materi.