Adiknya yang juga berada di lantai tiga keluar dari kamarnya. Uswatun melarangnya turun. Dia kemudian berusaha menghubungi keluarganya.
Dia juga sempat menelepon ambulans dan pihak kepolisian. Namun, sayangnya respon mereka cukup lambat. “Lama baru diangkat, ambulans yang pertama merespons dan kemudian kepolisian,” ujarnya.
Beberapa waktu berselang, ia mendengar suara teriakan dari lantai dua. “Om saya datang,” lanjutnya.
Sementara saksi kedua, Parti (59) mengatakan saat kejadian ia sempat mendengar ada suara ‘buk-buk’ depan kamarnya. Dia membangunkan suaminya.
“Dia ambil tongkat saya yang biasa disimpan di dekat pintu kamar,” katanya.
Tak lama setelahnya ada orang yang masuk ke kamarnya. “Awalnya saya kira itu anak saya Abdillah. Karena memang setiap subuh sekitar jam 04.00 atau jam 05.00 dia selalu masuk kamar mengecek keadaan saya, dia juga suka bercanda, tapi ternyata bukan,” jelasnya.
“Saya bilang Pak E, tapi oleh terdakwa dijawab kalau kamu tinggal sendiri sambil memegang sesuatu menyerupai senjata tajam. Waktu itu mukanya tertutup kain jadi saya tidak bisa lihat. Tapi dia lebih dari sekali mondar mandir di kamar sambil meraba-raba meja dan membuka laci. Dia minta saya antar ke bawah, tapi saya bilang saya sakit, tubuh saya mati separuh,” akunya.
“Dia juga membuka laci dan mungkin mengambil beberapa lembar uang. Ada juga HP saya dan suami diambil,” katanya.
Sementara itu terdakwa Black membantah pernyataan saksi. Dia mengaku tak mengambil uang. Handphone yang diambilnya pun seluruhnya disimpan di dekat jenazah bersama kunci mobil. “Saya menyesal,” katanya sambil tertunduk.