Lebih lanjut, lahirlah Al-Ghazali yang menolak filsafat akan tetapi menguasai filsafat. Al-Ghazali adalah penerus langsung Asy’ari tapi intelektual yang jauh lebih besar. Al-Ghazali meskipun mengkafirkan filsafat tapi berjasa menstabilkan pemahaman umat kepada agamanya dari gelombang Hellenisme barat. Sepeninggal Al-Ghazali, di Cordoba, lahirlah Ibnu Rusyd, ahli Aristoteles yang terakhir dan terbesar. Dia mengkritik Al-Ghazali terutama dalam tahafut at tahafut. Bila Al-Ghazali berupaya menceraiberaikan filsafat dan agama, maka Ibnu Rusyd berupaya menggabungkan agama dan filsafat.Di dunia Islam, oleh penguasa kala itu, karya Ibnu Rusyd coba dibakar semata karena kepentingan politik, tapi justru di barat, oleh orang Yahudi dan Kristen menjadi bahan pokok kebangkitan pemikiran mereka.Menstimulus pemikiran mereka. Di sebuah titik, di luar islam, di Barat sana, Pemikiran Aristoteles telah lama padam dan tumbang oleh sistem logika yang dikembangkan oleh Mill, Leibniz, Russel.
Kembali ke titik dunia Islam, lahirlah Ibnu Taimiyah, pemikir fanatik yang reaksioner. Membongkar kepalsuan Aristoteles, dia peletak dasar sistem logika Mill dan David Hume yang Positivisme. Dia seorang Positivisme. Meski Ibnu Taimiyah tidak menciptakan filsafatnya sendiri ia berhasil menjadi penyambung titik-titik filsafat, dari satu titik ke titik lain. Antara filsafat yang dulu ada, pernah ada, sudah ada dan akan ada berikutnya.Setelah Ibnu Taimiyah lahirlah Ibnu Khaldun, Ibnu Khaldun seperti hanya Al-Ghazali yang tidak tertarik pada ilmu dunia. Bahwa ilmu dunia tidak bermanfaat untuk keagamaan. Ibnu Khaldun tidak terinspirasi oleh filosof muslim non muslim sebelumnya, kecuali Al-Ghazali.Kajian tentang Warisan Intelektual Islam klasik umumnya berakhir pada Ibnu Khaldun. Pemikiran Islam mandek setelah kematian pemikir besar itu.