Dari satu titik ke titik yang lain, titik perkembangan pemikiran islam, dari Khulafaurrayidin, ke Dinasti Bani Umayyah, Dinasti Bani Abbasiyah, Fatimiyah, Saljuk dan seterusnya.Berbagai kejadian telah berlalu untuk tumbuhnya intelek muslim di satu pihak,dan para pengemban kekuasaan politik di sisi yang lain. Semuanya berbentuk titik, membentuk garis, membentuk ruang, membentuk bangunan, membentuk sejarah.
Semua paham-paham, gagasan-gagasan, yang bermunculan masing-masing respon dari sikap intelektual muslim saat itu, misal satu titik pada kaum Mutazilah membuka dunia intelektual Islam tapi tidak bertahan lama karena mihnah atau inkuisisi, kezaliman pada kaum muslim yang tidak sepaham, di samping Mutazilah yang rasional tumbuh pula kaum intelek yang lebih nasional yang serius mengkaji ilmu barat.Kaum Muslim itu mengkaji pemikiran Aristoteles sebagai “al-Mu‘allimal-Awwal” (Guru Pertama). Dari titik ini, lahirlah suatu disiplin ilmu dalam khazanah intelektual Islam yang disebut filsafat (al-falsafah).
Terutama oleh Filosof Muslim pertama bernama Al-kindi, Ilmu-ilmu barat ingin dibersihkan dan diislamkan. Ia menghidangkan filsafat Yunani kepada kaum Muslimin setelah pikiran-pikiran asing dari arah Barat itu “diislamkan” (dibersihkan dari paganisme). Sebuah filsafat Islam tapi menggunakan sistem argumentasi filsafat. Sebenarnya sudah banyak pemikiran rasional sebelumnya, tapi Al-Kindi tetap filosof muslim arab pertama dalam arti sebenarnya. Dimana dia adalah Sang guru kedua, yang intinya peletak dasar filsafat Islam yang terus dibangun dengan tekun. Alkindi ada pada masa Muawiyah di Baghdad dan muncullah Abbasiyah di Damaskus. Lalu kita juga mengenal filosof Al-Farabi. Di kota Islam lain, Bukhara, lahirlah Ibnu Sina yang tekun dan haus belajar, tidak pernah puas belajar, mempelajari apa saja yang ada, semakin puas. Salah satu kisahnya yang paling terkenal adalah membaca karya Metafisika Aristoteles, tapi tertolong oleh karya Al-Farabi, sehingga dia pewaris tradisi filsafat islam dari filosof sebelumnya.