Semuanya bermula pada satu titik, titik Rasulullah, dimana Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad, secara berangsur-angsur, bertahun-tahun. Tersebar di semua tempat, di lempeng batu, di pelapah kurma, di ingatan sahabat, lafaznya ada dimana-mana. Kemudian, pada sahabat nabi yang bernama Umar bin Khattab, yang kreatif, intelek, gagasan unik, gagasan untuk membukukan Al-Qur’an pada kekhalifaan Abu Bakar, dan disempurnakan saat Usman Bin Affan dan dikenal Al-Mushaf ala al-rasm al-Utsmani. Dan Al-Qur’an yang kita kenal dan pakai sekarang pun terhimpun, melalui satu contoh gagasan pemikiran intelek dari Umar bin Khattab.
Pada suatu titik, titik di masa wafatnya Rasulullah, kisah bersambung dari mulut ke mulut, buku ke buku, pertemuan ke pertemuan, kajian ke kajian, kelas ke kelas, terciptalah kisah yang kita kenal sebagai sebuah persoalan teologi, arbitrase, persoalan politik berakhir ke persoalan agama, kita tenggelam akan dosa dan bukan dosa, pahala dan bukan pahala, surga dan neraka, diperangi, tindakan anarkisme, disiksa, karena kekeliruan dalam membaca, memahami, menerjemahkan, menafsirkan Al-Qur’an, karena ketidakpahaman pada Al-Qur’an.
Itu dulu, pada awal persoalan teologi muncul dan berkembang. Sekarang, cerita itu diulang lagi, di setiap kelas, di setiap kajian, tentang persoalan teologi kalam tanpa bisa memahami, mengambil hikmahnya, seolah kisah yang hanya diceritakan dari mulut ke mulut, dikenal, dihafal, nyatanya sekarang pun begitu, masih juga saling mengkafirkan satu sama lain, karena ketidakpahaman kepada Al-Qur’an.Tidak perlu saya ceritakan kembali, bagaimana khawarij, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Mu’tazilah, AhlSunna Waj Jamaah dan semuanya muncul dalam kelompok-kelompoknya sendiri, aliran-alirannya sendiri, pemaham-pemahamannya sendiri. Masa itu, islam seperti batu yang dipecah-pecahkan, berkelompok, bergolongan, apakah setiap orang pada masa itu harus mengambil posisi, Islam apakah dia, dari Islam kelompok mana, golongan mana.