OLEH: Arief Rosyid Hasan
Direktur Eksekutif Merial Institute – Center for Youth Develompment Studies
Dalam narasi ketimuran, atau sebutlah Indonesia timur, kita dikenal sebagai komunitas yang senang berkumpul, berkelompok, berkomunal. Riwayat dan identitas orang-orang timur, dibaca dari kelompok atau komunitas mereka berasal. Sebagai orang yang lahir, besar, dan bertumbuh di Makassar, kesadaran berkomunal dan berkolaborasi telah terasa sejak kecil.
Bagi orang Makassar, siri’ atau integritas adalah harga diri. Berbicara tentang siri’ / integritas adalah berbicara tentang kerja-kerja nyata yang berorientasi pada keamjuan kelompok dan kemaslahatan umat. Namun, bukan berarti berkelompok secara radikal hingga mengkotak-kotakkan dan mengerdilkan kelompok lain, namun berkelompok dalam artian berjamaah, membangun saf atau barisan yang utuh, tertib, dan taat pada imamnya. Bahasa yang saat ini coba dikenalkan dalam konteks politik dan ke-indonesiaan ialah membangun gerbong pemuda, dalam hal ini gerbong pemuda Indonesia timur.
Mengapa perlu membentuk gerbong pemuda utamanya Indonesia Timur?
Pada dasarnya, Indonesia Timur telah membentuk kelompok atau gerbong yang berjalan secara alami karena mereka satu suku bangsa yang terkenal dengan mobilitas yang tinggi. Sebagai contoh, Suku Bugis di beberapa tempat pasti membentuk perkampungannya sendiri, seperti yang ada di Jakarta, Kalimantan, Singapura, dan sejumlah negara. Latar belakang merantau (sompe’) dan bermigrasi (malleke’ dapureng) lalu membentuk sebuah perkampungan menunjukkan karakter mereka yang tidak mudah meninggalkan identitas kesukuan sekaligus solidaritas yang tinggi.
Merantau atau meninggalkan kampung halaman ini jamak dilakukan oleh mereka yang berada pada fase remaja menuju dewasa. Mereka yang sedang memperjuangkan suatu jalan dengan semangat yang menyala ingin membuat perubahan bagi diri dan tempat baru mereka bermukim. Dalam pengalaman berinteraksi dengan perantau Bugis-Makassar, ada sebuah kecenderungan mereka yang datang di tempat baru tersebut ketika sudah mendapatkan kehidupan yang layak, mereka akan bertahan di tempat tersebut, dibandingkan memilih untuk pulang kampung. Tujuan mereka jelas, yakni ingin membuat perubahan di tempat mereka bermukim. Perubahan dalam agenda apapun, entah itu politik, sosial-kemasyarakatan, ataupun kepentingan ekonomi.
Nilai kultural seperti ini yang perlu dipertahankan dan dikembangkan oleh pemuda-pemuda di Indonesia Timur dan Sulawesi Selatan. Memang, ada sebuah stigma yang selalu menempatkan kawasan timur sebagai kelas kedua dibandingkan wilayah Jawa dan sekitar, namun belajar dari sejarah, sudah saatnya kita mengubah dan mematahkan stigma tersebut.
Selain itu, sudah sepatutnya kita membangun kembali paradigma yang menempatkan pemuda-pemuda dalam lokus atau domain asalinya, yaitu sebagai subjek penggerak perubahan. Dalam kata lain, perubahan paradigma harus pula disokong oleh kesadaran pemuda mengenai posisinya sebagai subjek aktif penggerak sejarah dan pembangunan bangsa yang berkarakter kerakyatan, atau yang mengakar dalam serta berjangkar pada konteks sosial-kebudayaannya.
Sejarah mencatat pemuda selalu berada pada garis terdepan dalam milestone pergerakan kebangsaan kita. Sejak kebangkitan rasa kebangsaan pada 1908, lalu kesepakatan kita untuk bertanah air, berbangsa, dan berbahasa yang satu pada 1928, hingga turut membidani kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945, dan menjadi harapan baru pembangunan masa depan pada 1966. Yang terakhir ketika menggulingkan rezim orde baru pada 1998, pemuda tidak pernah absen berjuang bersama rakyat.
Orang Muda dalam Arena Kepemimpinan
Pemuda adalah fase peralihan dari remaja tanggung yang labil menuju fase kedewasaan pemikiran. Di dalam fase ini, kelompok demografi tersebut selalu berada dalam kondisi yang rentan dalam menentukan identitasnya, di sisi lain pemuda dianugerahi oleh daya dan semangat untuk mencapai tujuannya, sebab ada kekhawatiran jika tak bergerak mereka bisa saja tersingkir dari kelompoknya. Oleh sebab itu, kelimpahan jumlah pemuda disebut bonus demografi dan tujuannya disebut Indonesia Emas 2045. Artinya cita-cita masa depan Indonesia ada di tangan pemuda-pemudanya.
Dalam berbagai kesempatan, saya selalu menegaskan bahwa orang muda harus tampil sebagai pemimpin, apalagi orang muda dengan segudang prestasi. Orang muda harus ada di arena, bukan hanya menonton di pinggir, apalagi dipinggirkan.
Pada salah satu agenda “Dialog Kepemudaan; Menata Jalan Menuju Indonesia Emas 2045” di Makassar beberapa waktu lalu, saya menyampaikan, kontestasi Pilpres 2024 ini banyak membuka persepsi publik tentang pemuda. Dan jangan lagi kita berada di pinggiran. Mari kita masuk ke gelanggang permainan. Kader-kader muda terbaik Sulsel sudah saatnya unjuk gigi. Ramaikan Pilkada, ikut kontestasi pemilihan wali kota, pemilihan bupati, ataupun pemilihan gubernur.
Mari memberikan yang terbaik untuk kemajuan daerah masing-masing.
Dalam buku Peta Jalan Indonesia Emas 2045: membangun masa depan Indonesia mulai hari ini (2023) dijelaskan bahwa Indonesia 2045 memiliki visi untuk menjadi negara ‘powerhouse’ yang resilien, sejahtera, inklusif, dan berkelanjutan, serta menjadi ‘inspirational lighthouse’ dari ASEAN. Perjalanan ini harus dipandu oleh sasaran spesifik melalui empat pilar inti, yaitu ‘resilient growth’, ‘prosperous economy’, ‘vibrant inclusive society’, dan ‘sustainable development’.
Warisan budaya Indonesia juga harus menjadi kompas yang memastikan bahwa kesejahteraan dan kebanggaan bangsanya menjadi hal yang dijunjung tinggi. Filosofi “Gotong Royong” menjadi inti dari penyusunan visi, yang menekankan semangat kerja sama untuk meraih manfaat yang lebih besar bagi bangsanya serta menjadi perwujudan prinsip “Bhinneka Tunggal Ika” yang menjunjung tinggi kebersamaan dalam keberagaman.
Sebagai sebuah kesatuan demografi, pemuda seyogianya menjadi power resources/kekuatan sumberdaya utama dalam menopang gerak kemajuan kebudayaan dan juga peradaban bangsa itu sendiri. (*)