Seorang mahasiswi FK UMI FY mengaku, mengalami kesulitan dalam mengekspresikan emosinya. Dia menjadi lebih pendiam di kampus dan cenderung menarik diri dari teman-temannya. “Awalnya saya merasa tidak se-introvert ini, tapi karena keadaan di rumah yang selalu sepi, jadi kalo di sekolah saya lebih nyaman sendiri,” ucap FY.
Fiya merupakan anak tunggal di keluarganya, selama 17 tahun ini ia hidup dipenuhi kasih sayang kedua orang tuanya. Meskipun kedua orang tua kadang bertikai tentang hal-hal yang kecil akan tetapi keluarganya tetap berjalan harmonis. “Keluargaku dulu bisa dibilang sangat harmonis sebelum orang tuaku cerai,” ucapnya.
“Perceraiannya orangtuaku itu dikarenakan selingkuh ayahku sama teman kerjanya,” ungkap FY. Keharmonisan keluarganya mulai hancur sejak saat itu, ibunya lebih banyak diam dan selalu marah hingga memilih untuk bercerai dan berpisah rumah. “Jadi saya ikut ibuku, walaupun biasa na panggil ja ayahku,” ungkapnya.
Mereka memiliki strategi coping yang berbeda. SS mengaku bahwa dengan bergaul dengan teman sebayanya dapat membantunya melupakan masalah yang dihadapinya, “Caraku untuk mengatasi stress itu dengan keluar main sama temanku dan cerita-cerita karena kalau sama teman saya jadi merasa bebas,” tuturnya.
Lain halnya dengan FY, dengan berdiam diri di kamar atau membaca novel itu bisa membuatnya senang. “Kalau lagi stress yaa paling baca novel di kamar” ungkap FY.
Dosen Psikolog Fakuktas Psikologi UNM, Eka Sufartianinsih Jafar, S. Psi., M. Psi., Psikolog mengatakan, proses coping stress pada anak broken home melibatkan berbagai langkah dan strategi yang dapat membantu mereka mengatasi tantangan emosional dan perubahan dalam kehidupan keluarga mereka.