PMI disusun untuk memperbaiki rantai pasok dan melakukan penulusuran terhadap permintaan serta penawaran dalam suatu perekonomian. Hal ini berkaitan dengan berapa banyak permintaan barang input untuk menghasilkan produk akhir dalam suatu perekonomian.
Ekonom dan para pengambil kebijakan kemudian menggunakan PMI sebagai indikator kesehatan perekonomian, khususnya sektor manufaktur. PMI yang disusun oleh ISM menggunakan lima indikator, yaitu pemesanan barang baru, jumlah persediaan, produksi, banyaknya barang yang dikirim, dan kondisi pasar tenaga kerja.
Nilai PMI dimulai dari nol yang terendah dan 100 yang tertinggi. Dimana nilai PMI berada di sekitar 50. Jika nilainya lebih rendah dari 50 maka dapat disimpulkan bahwa produksi sedang mengalami penurunan. Sementara nilai PMI lebih besar dari 50 berarti bahwa kegiatan produksi lebih baik pada bulan saat survey dilakukan dibandingkan bulan sebelumnya.
Penggunaan PMI untuk memprediksi resesi pernah dilakukan oleh ekonom pada tahun 2000 – 2002. Dimana resesi yang terjadi pada Maret – November 2001 dapat diprediksi dengan melihat terjadinya kontraksi sektor manufaktur yang ditunjukkan oleh nilai PMI lebih kecil dari 50 pada sepanjang tahun 2000.
Hal yang sama kemudian kembali terjadi pada tahun 2006 – 2007, yaitu nilai PMI mengalami penurunan signifikan dibawah 50 pada tahun 2006 – 2007 sebelum terjadinya great recession pada tahun 2008.
Hal yang sama juga terjadi di Jepang, dimana sebelum perekonomian Jepang secara teknis memasuki resesi pada tahun 2024, nilai rata-rata PMI Jepang sejak Januari 2023 – Februari 2024 selalu lebih rendah dari 50, yang menunjukkan terjadinya kontraksi pada sektor manufaktur.