Oleh: Fajlurrahman Jurdi
Dosen fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Nietzsche adalah satu satu pemikir penting yang mengilhami banyak pemikir dan para filosof setelahnya. Ia menulis salah satu buku yang paling penting sekaligus bertenaga tentang “hasrat” manusia untuk berkuasa. Nietzsche menulis Wille zur Macht-The Will to Power, yang diterjemahkan menjadi the will to power, atau “kehendak berkuasa”.
Martin Heidegger memberi makna, bahwa “kehendak berkuasa” yang dimaksud Nietzsche adalah sebagai “kehendak menghadapi rintangan”, dan rintangan terbesar dalam berkuasa adalah “kebenaran”. Dengan demikian, kebenaran adalah merupakan “penghalang” bagi setiap orang untuk mencapai, mengelola dan mempertahankan kekuasaan, sehingga ia harus diasingkan dari seluruh anasir kekuasaan.
The will to power, mengajarkan tentang tata cara “perburuan” kekuasaan dengan cara dan instrumen tanpa melibatkan moral. Dengan cara pandang seperti itu, kekuasaan berubah menjadi moral, dan karenanya, kekuasaan akan menjadi “sesembahan” bagi mereka yang memburunya. Jika kekuasaan berubah wujud menjadi transenden, menjadi berhala, maka anasir apapun yang melibatkan dan menjadi tirai penghalang di dalamnya, harus dihancurkan.
Atas dasar itulah, ada banyak orang yang cenderung memandang bahwa kekuasaan itu harus direbut dengan cara dan upaya apapun. Mereka tidak memperhatikan proses, sebab yang paling penting adalah hasil-nya, bahwa kekuasaan harus diraih dan rebut. Akibatnya, kawan-lawan, kau-aku, kita-mereka, menjadi frasa yang memicu terasingnya moral.