Lima Mei 2005 — saya menyusuri salah satu jalan di kota London. Hari itu, hari pemungutan suara Pemilu Inggris. Jika di Indonesia tentu ini hari bebas kampanye dan bahkan sejak tiga hari sebelumnya. Kita menyebutnya masa tenang dan bebas dari kampanye peserta pemilu dalam bentuk apapun. Di London saat itu saya sempat melihat satu baliho besar di salah satu sudut jalan. Saya masih ingat baliho itu berlatar warna merah. Di baliho itu ada foto besar Michael Howard pemimpin oposisi dari Partai Konservatif (lawan dari Tony Blair pemimpin Partai Buruh yang sedang menjabat sebagai PM Inggris). Baliho itu dipasang oleh Tim Kampanye Partai Buruh. Mereka memajang foto Michael Howard yang kebetulan dalam posisi dan mimik sedang ‘jelek-jelek’nya. Dan disitu ada pesan yang seingat saya kira-kira bunyinya: Hai para simpatisan Partai Buruh — “Anda semua hari ini harus ke tempat pemungutan suara (TPS). Jika tidak, maka besok pagi ketika Anda bangun pagi, orang ini akan menjadi Perdana Menteri Inggris.”
Saya bersama Hadar Gumay (saat itu sebagai aktivis Pemantau Pemilu Indonesia terkemuka) diundang Pemerintah Inggris untuk menyaksikan Pemilu Inggris. Kami menyaksikan proses pencoblosan dan malamnya menyaksikan proses perhitungan suara di Stadion Wimbledon. Sebuah proses perhitungan hasil pemilu yang amat sederhana menurut saya. Tengah malam itu juga — sudah diputuskan siapa anggota parlemen yang terpilih dari seluruh Inggris Raya. Termasuk sudah diumumkan lewat jaringan televisi bahwa Anthony Charles Lynton Blair memenangkan kursi parlemen di daerah pemilihannya Sedgefield North East England. Pagi harinya sambil tiduran saya menonton siaran langsung bagaimana PM Tony Blair terbang menuju ke London dan diumumkan juga bahwa Partai Buruh kembali memenangkan Pemilu Inggris.
Mungkin pesan baliho yang ‘menyerang’ Michael Howard — jika di Indonesia bisa dikategorikan sebagai kampanye hitam — cukup memengaruhi pemilih Inggris. Tony Blair untuk ketiga kalinya kembali mengantarkan Partai Buruh memenangkan pemilu. Padahal saat itu masyarakat Inggris agak kecewa dengan sikap ‘manut’ Blair ke Presiden AS Bush di perang Teluk. Dan Tony Blair tetap mengulang prestasi kemenangannya sejak Mei 1997 setelah 28 tahun Partai Konservatif menguasai Inggris.
**
Di masa tenang ini, berbagai baliho sudah diturunkan oleh pihak terkait. Termasuk aparat satpol pemda/pemkot. Namun di medsos baik secara resmi maupun tidak, meme, dan video yang menyudutkan para peserta pemilu termasuk pilpres terlihat gencar. Sampai-sampai hari Minggu kemarin TKN Prabowo-Gibran harus memberikan keterangan pers untuk meluruskan berbagai pernyataan pihak tertentu yang dianggap menyudutkan mereka.
Apa yang membuat TKN Paslon 2 harus turun gelanggang di hari pertama masa tenang? Ya tentu karena mereka merasa ada pernyataan dari pihak lain yang menyudutkan mereka. Video atau pernyataan yang ditanggapi umumnya yang jelas narasumbernya. Padahal hari-hari ini begitu banyak ‘black-campaign’ yang diviralkan di berbagai media sosial. Kampanye yang baik-baik juga terus berjalan. Pertanyaan, apakah kita tetap memerlukan rentang waktu tanpa kampanye yang kita sebut “masa tenang”?
Apa yang saya lihat 20 tahun di London itu, sesungguhnya sudah merasuki pikiran saya. Saya sampaikan pada 1-2 kesempatan bertemu dengan para pihak terkait pemilu. Apapun masa tenang, bukanlah sesuatu yang terlalu penting, karena siapapun tetap ‘bergerilya’ melakukan kampanye dengan berbagai macam cara. Dan kita semua memaklumi, sampai tadi malam, berbagai grup WA kita dan aplikasi medsos kita, masih dipenuhi dengan ‘pesan kampanye”. Termasuk kampanye hitam untuk menyudutkan satu dua pihak yang berkontestasi di Pemilu 2024. Semoga pemilu kita baik-baik saja dan Indonesia tetap dalam suasana damai. Mari lupakan ‘pesan hitam’. Biarkan hati kita tetap bersih dan terjaga.***