OLEH: Dian Fitri Sabrina
Dosen Hukum Konstitusi
Presiden merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan berdasarkan sistem pemerintahan presidensial yang diterapkan di Indonesia. Dengan sistem tersebut Presiden memegang kekuasaan tertinggi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945. Kewenangan yang melekat dalam jabatan seorang Presiden harus dilaksanakan berdasarkan sistem demokrasi sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945. Hal inilah yang memberikan batasan terhadap seorang Presiden dalam melaksanakan sistem pemerintahan di Indonesia.
Kemunduran demokrasi melibatkan melemahnya lembaga-lembaga demokrasi, seperti transisi kekuasaan secara damai atau pemilihan umum yang bebas dan adil, atau pelanggaran terhadap hak-hak individu yang mendasari demokrasi, khususnya kebebasan berekspresi. Kemunduran demokrasi adalah kebalikan dari demokratisasi. Para pemimpin otoriter dan penguasa tiran yang dipilih lebih mengupayakan untuk memanfaatkan hukum ketimbang melanggar atau mengabaikannya guna meningkatkan kekuasaan mereka dalam batas-batas konstitusi (Przeworski 2014). Sebagai contoh, para pembalik demokrasi seringkali menghilangkan atau memperpanjang batas masa jabatan eksekutif, atau secara sepihak berupaya mengubah aturan elektoral sesuai keinginan mereka dengan mendesain kembali daerah pemilihan atau meningkatkan kekuasaan veto mereka (Bulmer 2015), atau mengubah sistem pemilu untuk menghasilkan mayoritas kuat secara artifisial. Konsekuensi umum dari kemunduran demokratis meliputi perluasan kekuasaan keputusan eksekutif, pengurangan pengawasan legislatif, pembatasan kemandirian lembaga peradilan dan media, menyalahgunakan keadaan darurat, dan pengesahan undang-undang yang membatasi hak-hak yang dijamin oleh konstitusi dalam rangka mengurangi oposisi politik dan perbedaan pendapat sebagaimana yang dijelaskan dalam Global State of Democracy Mengkaji Ketahanan Demokrasi (IDEA 2018).
Kemunduran demokrasi di era Jokowi sangat terlihat dengan beberapa hal yang terjadi di Indonesia yaitu: putusan Mahkamah konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden yang diintervensi oleh kekuataan dan kekuasaan tertentu dengan terbukti bahwa Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu Anwar Usman melanggar kode etik berat berdasarkan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/MKMK/L/11/2023 tersebut dalam amar putusan menyatakan memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi dan tidak lagi sebagai hakim konstitusi. Kemudian putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu terhadap pelanggaran kode etik Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asyari terkait penetapan Gibran sebagai Calon Wakil Presiden. Harusnya Komisi Pemilihan Umum melakukan perubahan Peraturan Komisi Pemilihan Umum terlebih dahulu, baru kemudian menerbitkan pedoman teknis dan terbukti melanggar kode etik Pasal 11 huruf a dan c, Pasal 15 huruf c, dan Pasal 19 huruf a Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Nomor 2 Tahun 2017 mengenai prinsip kepastian hukum, prinsip profesionalitas, dan prinsip kepentingan umum. Atas pertimbangan tersebut, maka Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu memutus menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada ketua dan anggota Komisi Pemilihan Umum. Bukan hanya terjadinya kemunduran demokrasi tetapi hilangnya etika dan moral di era Jokowi misalnya Presiden menunjukan sikap terbuka terhadap salah satu pasangan calon yang di mana salah satu calon Wakil Presiden adalah anak kandung Jokowi. Beberapa menteri juga menyatakan dukungannya terhadap pilihan Jokowi sehingga sikap netral Presiden dalam pemilu 2024 tidak dilaksanakan dengan baik. Pembagian bantuan sosial yang tidak dilaksanakan secara birokrasi terkesan menggunakan kekuasaan dan penerimaan dari hasil pajak digunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Pembagian bantuan sosial yang dilaksanakan tidak secara birokrasi dinilai tidak memberikan kesadaran masyarakat untuk cerdas tapi terkesan membodohi masyarakat dan dianggap tidak beretika dan bermoral.
Beberapa universitas dari kalangan Guru Besar dan para akademisi di Indonesia sudah memberikan kritikan keras terhadap tindakan Jokowi sebagai seorang Presiden. Bukan sadar atas himbauan Guru Besar terhadap sikap tapi justru dianggap bahwa petisi yang disampaikan kalangan akademi dan gerakan rakyat merupakan kepentingan elektoral dan partisan.
Saat ini beberapa gerakan dari mahasiswa menuntut Jokowi mundur dari jabatannya sebagai seorang presiden dan sikap netral pada pemilu 2024. Kemungkinan yang terjadi jika Prsiden Jokowi menggunakan kekuasaan untuk memihak atau menyatakan pilihan terhadap salah satu pasangan calon maka segala hal dapat dilakukan dengan mudah dan mampu menggerakan kekuasaan tersebut untuk menguntungkan salah satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Meskipun saat ini Presiden menyatakan bahwa tidak akan ikut kampanye tetapi tindakan dan gerakan-gerakan yang dilakukan secara terbuka mengarah kepada dukungan salah satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Hal tersebut terbukti dari apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan tidak sesuai atau tidak konsisten, hal inilah yang membuat gerakan moral dengan hati nurani oleh Guru Besar dan akademisi menyakan kritikan terhadap Presiden Jokowi dan terjadi kemunduran terhadap nilai demokrasi, etika dan moral di era Jokowi. (*)