English English Indonesian Indonesian
oleh

Kembalikan Muruah Kampus

Demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Makin ke sini kian tak terarah. Reformasi justru tidak mampu meluruskan permasalahan tersebut.

Dalam beberapa catatan, Pemilu 1955 dianggap paling demokratis. Seluruh partai politik bersaing secara fair. Merebut simpati rakyat dengan adu gagasan. Tak ada campur tangan kekuasaan. Rakyat pun menyambutnya penuh gembira.

Setelah Pemilu 1955, tak ada lagi namanya demokrasi. Perlahan-lahan mulai memudar. Era Orde Baru, campur tangan kekuasaan kian tampak. Salah satu partai melenggang mulus menguasai parlemen.

Pasca-runtuhnya Orde Baru, iklim demokrasi diharap tumbuh membaik pada masa Reformasi. Ternyata tidak. Demokrasi justru kian runtuh. Tidak hanya campur tangan kekuasaan, praktik politik uang pun dihalalkan. Demokrasi mati suri.

Kemunduran demokrasi tersebut pada dasarnya bukan terletak dari lemahnya sosialisasi dan pengawasan penyelenggara pemilu semata. Baik KPU maupun Bawaslu. Akan tetapi, dipicu banyak faktor.

Salah satu faktor adalah mundurnya peran lembaga pendidikan. Perguruan tinggi. Baik negeri maupun swasta. Kekuatan civil society seakan-akan terkungkung. Tak ada lagi regulasi yang mendukung peran sivitas akademika.

Bahkan cengkeraman kekuasaan dan kekuatan politik makin terasa di dalam kampus. Praktik-praktiknya kian kental. Hal itu paling terasa saat pemilihan rektor. Belum lagi hal lainnya.

Padahal, kampus ibaratnya sebagai wadah penggemblengan generasi. Menggembleng pemilih pemula menjadi pemilih rasional. Generasi pelanjut yang berintegritas.

News Feed