Oleh: Wulan
Prodi Komunikasi Universitas Pertamina
DALAM tarian bayangan matahari terbenam, terselip cerita anak negeri yang merajut mimpi menjadi bagian dari ibu pertiwi. Berpedoman pada bait lagu “Mimpi adalah kunci, untuk kita menaklukkan dunia” insan muda membangun mimpi-mimpi gemulai bagai embun pagi di dedaunan, membentang di langit-langit hatinya seperti awan yang ingin merangkai harapan.
Bermimpi memeluk embun sang fajar, menjadikan wilayah Natuna menjadi sebuah syair berdikari dan menyalakan abhipraya kehidupan melalui rajutan mimpi di pinggiran laut ibu pertiwi. Menjalin potensi untuk membentuk diri yang lebihberani demi mimpi yang tertanam dalam hati.
Biaya menjelma menjadi benteng kokoh yang melibatkan langkah penuh semangat para penggawa Indonesia. Riset yang dilakukan oleh Haruka Evolusi Digital Utama (2018) mengalirkan cerita tentang 66 persen lulusan SMA/SMK terhalang dinding ekonomi yang membuat mereka harus menahan gebrakan mimpi yang tertanam dalam hati. Kesenjangan ini menyelam dengan tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap dunia pendidikan yang jauh.
Ini adalah hamparan fakta yang tidak terhindarkan, Indonesia perlahan melorot, tertinggal dari langit-langit kejayaan pendidikan dunia. Menyelami data yang dirilis oleh Badan PBB untuk Pembangunan (UNDP) yang dimuat oleh GoodStats (2022) tergambar bagaimana ketertinggalan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia secara global. Dari 191 negara yang berpartisipasi, Indonesia menempati urutan 114. Sebuah catatan haru yang harus diubah menjadi syair pembaharuan, agar potensi bumi ini mekar dalam harmoni pendidikan yang menggelora.