Oleh Adi Arwan Alimin
(Direktur Insight Mandarnesia)
PEMILU merupakan tonggak penting dalam kehidupan demokratis sebuah negara. Proses ini tidak hanya berkaitan memilih pemimpin dan wakil rakyat, tetapi juga menyangkut integritas, partisipasi, dan kualitas demokrasi.
Satu aspek penting yang selalu menjadi sorotan adalah dampak politik uang terhadap partisipasi pemilih. Dalam menghadapi Pemilu 2024, tantangan tersebut memerlukan pemikiran dan tindakan bersama untuk menciptakan partisipasi pemilih yang tidak dipengaruhi oleh imbalan uang.
Di tengah tahapan yang terus berjalan menuju 14 Februari 2024, ancaman pada kualitas demokrasi tanpa pengaruh politik uang gencar berdengung. Perlawanan pada potensi kecurangan, khususnya pada dugaan pemilih bayaran atau pemilih yang datang ke TPS karena dibayar, mengisi ruang gema di media massa, terlebih lagi media sosial yang riuh.
Ini merupakan tantangan amat nyata. Meski kerap kali seperti angin, berasa tetapi tak dapat digenggam. Kita mungkin dapat bersikap terbuka pada biaya politik yang memang relatif tinggi untuk membiayai seluruh tahapan dan semua sisi tujuan pemenangan. Namun politik uang yang bertujuan mempengaruhi pilihan pemilih merupakan ancaman serius.
Politik uang dapat menjadi hambatan serius terhadap kualitas partisipasi pemilih. Sumbangan finansial berlebihan, dan tidak terpantau dapat menciptakan ketidaksetaraan dalam persaingan politik, mempengaruhi integritas proses pemilihan. Bahkan merongrong kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara, peserta dan sistem pemilu.
Politik uang juga berdampak buruk bagi pemilu dan penguatan demokrasi di Indonesia. Selain menjadi pembodohan terhadap pemilih, persaingan antar kandidat atau peserta (partai politik) akan menjadi timpang. Kelompok yang memiliki lebih banyak uang diduga memiliki peluang amat besar melakukan politik uang, dan memenangkan pemilu (?)
Lalu langkah apa yang dapat dilakukan secara konkret untuk menghilangkan atau paling tidak mengurangi dampak negatif politik uang pada pemilihan umum.
Pertama, yakni meningkatkan pendidikan pemilih. Untuk dapat menciptakan partisipasi pemilih tanpa bayaran, masyarakat harus diberdayakan melalui pengetahuan yang cukup sebelum membuat keputusan yang informasional, dan berdasarkan nilai.
Literasi pemilu atau program edukasi yang dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Baik melalui media tradisional maupun platform digital, ini akan membantu mengurangi ketergantungan pada kampanye yang digaungkan bersama politik uang. Tetapi siapa yang melakukan ini secara masif dan berkesinambungan, walau ada, civil society hampir dapat disebut tidak dapat menjangkau semua.
Kedua, penyelenggara Pemilu sebenarnya telah memiliki cara dengan mengatur mekanisme laporan dana kampanye. Tetapi seberapa efektif ini berjalan? Apakah seluruh dana yang digerakkan selama kampanye telah dilaporkan secara terbuka, dan transparan.
Pelaporan dana kampanye sebenarnya bertujuan memastikan partisipasi peserta pemilu yang lebih adil. Maka langkah-langkah transparansi dana kampanye perlu diperkuat. Sumber daya yang digunakan untuk mendanai kampanye perlu diterangkan secara terbuka, dan informasi ini harus mudah diakses oleh publik.
Keterbukaan ini akan menciptakan kontrol lebih besar terhadap bagaimana dana kampanye digunakan, mengurangi risiko manipulasi, dan menciptakan ruang bagi kampanye lebih sehat dan berbasis kebijakan. Pengawas Pemilu dan civil society sebaiknya lebih meningkatkan model pengawasan terhadap urusan dana kampanye ini.
Dari laman perludem. org disebutkan dana kampanye dipahami sebagai penerimaan dan pengeluaran dalam bentuk uang, barang, ataupun jasa yang diperoleh dan dipergunakan oleh oleh peserta pemilu (partai politik, pasangan calon, dan calon), dan pendukungnya untuk kepentingan kampanye atau meraih suara di pemilu.
Cara lain yang dapat dilakukan, yakni melalui tahapan debat publik secara substansial. Debat publik adalah sarana yang efektif untuk meningkatkan pemahaman pemilih tentang visi dan program kerja kandidat tanpa bergantung pada politik uang.
Dengan modal jaringan dan media sosial seperti saat ini, rasa-rasanya tahapan debat capres pada Pemilu kali ini sepertinya telah mampu menyedot perhatian. Kini sesi debat dinanti banyak warga untuk melihat dari dekat kualitas setiap jagoannya, model ini praktis bakal menurunkan potensi politik uang karena ikatan psikologis pemilih lebih kuat dari pengaruh uang.
Sejumlah pengamat menyebut, tidak seperti pada Pemilu sebelumnya, debat capres Pemilu 2024 yang memiliki efek ekor jas pada partai pendukung dan pengusung, telah memberi pengaruh penting pada lanskap pilihan warga. Dukungan antar kubu mampu menaikkan militansi yang barang tentu akan menggeser paradigma politik uang itu sendiri.
Tapi dengan catatan penting, debat harus menjadi wadah di mana pemilih dapat menilai dan memahami karakter setiap jagoan masing-masing atau lawan tandingnya. Yang menarik, dari sejumlah sigi, debat capres 2024 baik pada putaran pertama dan ketiga sanggup mengubah arah dukungan antar calon. Situasi ini jelas akan berdampak pada politik uang, namun apakah itu sampai pula pada pemilih yang relatif berpendidikan lebih rendah dan tidak mengikuti debat?
Selanjutnya, kehadiran masyarakat sipil pemilu sangat dibutuhkan. Peran masyarakat sipil dalam mengawasi, dan melaporkan pelanggaran pemilu sangat penting. Badan pengawas pemilu, dan koalisi masyarakat sipil pemilu memiliki peran utama dalam mendeteksi dan mengungkap praktik politik uang.
Bahkan pekan kemarin, Netgrit, Perludem dan masyarakat sipil lainnya meluncurkan aplikasi Jaga Suara 2024 untuk ikut mengawasi proses pungut hitung suara di Pemilu 2024. Inisiator yang juga Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Hafis Gumay di Jakarta (17/1) mengatakan, hasil tungsura di setiap TPS harus dipastikan tidak ada yang mengubah, memanipulasi, dan mencurangi.
Kemajuan teknologi yang semakin modern dapat pula menjadi alat yang kuat untuk mencapai transparansi dalam pemilihan umum. KPU saat ini perlu menghadirkan aplikasi dan platform online yang dapat digunakan untuk melacak dan melaporkan penggunaan dana kampanye secara real-time.
Inovasi semacam ini akan memberikan peluang pada siapapun agar lebih cepat, dan mudah untuk mengakses informasi tentang pendanaan kampanye. Langkah ini juga akan sanggup meminimalkan risiko praktik politik uang yang mungkin tidak terdeteksi.
Lalu, dalam usaha mewujudkan pemilu dengan partisipasi pemilih yang tidak dipengaruhi oleh politik uang bukanlah tugas mudah. Tetapi, dengan sejumlah paparan dan diskursus di atas semoga kita akan dapat menuju pemilu yang lebih adil dan demokratis.
Sejatinya Pemilu 2024 adalah panggung bagi demokrasi yang sehat dan berdaya. Bahwa setiap suara memiliki nilai, dan pengaruh yang setara tanpa memandang lapisan sosial atau tebalnya finansial. Bahwa setiap orang memiliki posisi yang sama tinggi dan rendah di bilik suara.
Sayangnya politik uang telah merupa alat pembunuh demokrasi, nyata atau tidak nyata. Apakah seseorang memilih karena dibayar, tidak. Sebab rupanya tak seluruhnya begitu. Namun apakah ini dapat dicegah atau ditindak sewajarnya?
Catatan ringkas ini ingin berdiri di pagar sejarah, tentang bagaimana cara kita melindungi demokrasi. Atau paling tidak untuk menjawab sedikit pertanyaan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt di Pengantar bukunya, Bagaimana Demokrasi Mati. (*)
Mamuju, 17 Januari 2024