Oleh: M Asri Arief*
Yos Soedarso patut menjadi spirit dalam melakoni kehidupan berbangsa dewasa ini. Terutama sikap kepahlawanan, pantang menyerah, dan inisiasi yang berani.
Pada Konferensi Meja Bundar 1949, Indonesia dan Belanda tidak mencapai kesepakatan tentang status Irian Barat (sekarang Papua). Keduanya hanya menyetujui membicarakan persoalan tersebut dalam jangka waktu satu tahun ke depan. Padahal pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia, telah ada kesepakatan bahwa bumi cenderawasih akan diserahkan kepada Indonesia.
Gelagat tidak bersahabat dan arogansi pemerintah Belanda waktu itu ditentang pemerintah Indonesia dengan mendirikan Provinsi Irian Barat dan menetapkan Soasiu di Pulau Tidore sebagai ibukotanya pada 17 Agustus 1956. Disusul pelantikan Zainal Abidin Syah sebagai gubernur pertama pada 23 September 1956.
Ironisnya, Belanda malah meningkatkan kekuatan militer dan tidak memperlihatkan adanya iktikad baik. Presiden Soekarno pun meningkatkan kekuatan persenjataan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) dan menggelar operasi pembebasan Irian Barat bertajuk Tri Komando Rakyat(Trikora).
Perwira Gugur
Angkatan Laut Republik Indonesia alias ALRI (sekarang TNI AL) mendapat tugas operasi infiltrasi dengan mengerahkan empat kapal perang jenis Motor Torpedo Boat (MTB) tipe Jaguar,yaitu KRI Matjan Tutul-650, KRI Matjan Kumbang-653, KRI Harimau-654, dan KRI Singa. Beberapa pejabat ALRI yang ikut, yaitu Deputy I (Operasi) KSAL Komodor Josaphat Soedarso (lebih dikenal dengan sebutan Yos Soedarso) dan Kapten Memet (Ajudan) berada di KRI Matjan Tutul, sementara Direktur Operasi MBAL Kolonel Sudomo dan Kolonel Mursyid berada di KRI Harimau.